“Seorang raja benar-benar memiliki otoritas penuh dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Negeri Thailand. Itulah makna penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata seorang teman, Dosen dari Universitas Sorong yang juga salah satu peserta ICCD 9 Bangkok 2022.
Memang, secara kasat mata yang nampak sepanjang Kota Bangkok hanya gambar Raja dan Permaisuri yang terpampang. Tak ada baliho yang meramaikan hiruk-pikuk kota dengan foto caleg dan calon presiden seperti yang tampak di kota-kota di Indonesia.
Katakanlah kantor-kantor yang kami lewati seperti Supreme Court dan Territorial Defence Command (semacam kantor pertahanan negara). Semua yang terpasang di depannya hanya foto raja, bukan pimpinan atau kepala kantor instansi tersebut.
Itulah bentuk bagian kekuasaan yang ada di Thailand. Kewenangan penuh ada di pundak raja ke-10 yang kini pemerintahannya sudah berjalan 6 tahun.
Namun, satu hal yang bisa dicermati dan catat adalah stabilitas politik, keamanan dan penegakan hukum yang menunjukkan tingkat kepuasan kepada publik. Hal itu tergambar pada kondisi masyarakat yang begitu tenang dan kondusif. Baik di tempat-tempat wisata, maupun lokasi perbelanjaan nampak aspek keamanan cukup terjamin dan “geliat'” ekonomi sangat dinamis, dengan antusias pengunjung yang ada dari berbagai dimensi etnis.
Kondisi dan realitas ini sangat “diametral” dengan keadaan di tanah air Indonesia. Di mana sektor penegakan hukum menjadi “alarm” yang memprihatinkan. Maka, tak mengherankan jika tren kepuasan kinerja pemerintah bidang penegakan hukum dianggap terjadi penurunan paling curam akibat perlakuan oleh aparat penegak hukum yang memalukan.
Pada titik ini, selama enam hari kami berada di Thailand dan salah satu wilayah Provensi yang terpadat ke 2 jumlah populasi penduduknya yaitu Chiang May (kurang lebih 1,6 JT warganya), kami tak pernah menemukan ada perkelahian (kerusuhan) bahkan pertengkaran kecil (cekcok di tempat keramaian). Akan tetapi, yang nampak adalah interaksi yang tertib (keteraturan), kedamaian, kebersihan, dan penghormatan terhadap budaya lokal dan aturan hukum yang ada.
Adegium “Ubi societas ibi ius”, yang diterjemahkan menjadi “Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum” benar-benar terejawantahkan dengan baik. Sebab, kenyataannya relasi antara manusia dan hukum sebagai dua entitas yang tak terpisahkan berjalan dengan baik. Dalam artian, tanpa paksaan berjalan dengan baik dan apa adanya.
Meski jarang kita menemukan ada polisi atau pos keamanan di satu titik (tempat) tetapi kepatuhan dan ketertiban menjadi suatu tatanan hukum yang berjalan dengan baik. Kita pun sebagai pendatang di suatu tempat “maaf” jadi malu jika berprilaku semberonoh dan tak disiplin. Katakanlah membuang atau meninggalkan kotoran (sampah) dengan rasa malu yang ada dengan sukarela harus memungut kembali sampah yang tercecer dan membuang di tempatnya sebelum meninggalkan tempat tersebut.
Begitu pun, suasana yang ada diobyek wisata yang kami kunjungi di Chiang May. Salah satu Provensi diantara 77 Provensi yang ada di negara Thailand. Jadi meski negara yang dijuluki negeri Gajah Putih ini berpenduduk sekitar 60 juta jiwa, tetapi jumlah provinsinya melebihi/melampaui Indonesia yang hanya 34 dan kini bertambah lagi 2 setelah Provensi yang baru terbentuk sudah di tandatangani SK nya oleh Presiden.
Jadi sebetulnya bukan tanpa alasan banyaknya provinsi itu di Thailand karena tujuan filosofisnya adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk mempercepat pelayanan serta akselerasi pembangunan. Sehingga meski daerahnya kecil tetapi mampu lebih lincah bergerak untuk mencapai kemajuan. Asumsi dasar ini kelihatannya mampu mereka buktikan ditengah kompetisi pembangunan yang ada.
Last but not least, tentu saja segala sesuatunya kemajuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat ditentukan oleh pola pikir (mind set) semua komponen yang ada. Dan, kita pun harus menyadari bahwa kesuksesan dan kebrutalan suatu negara, dunia akan mengenang. Sama ketika saya “ditodong” pertanyaan di sebuah kafe di pinggir obyek wisata. Seorang kasir ketika selesai sy menyerahkan 45 bath harga kopinya ia bertanya ” Dari Indonesia ?,” tanya kasir sambil menyerahkan segelas kopinya. “Ya,” jawab saya. Sambil meneguk kopinya yang masih panas, ia melanjutkan ucapannya: “ikut berduka ya atas tragedi sepakbola yang mengerikan di Indonesia.”
“Terima kasih,” jawab saya pelan. Saya pun melangkahkan kaki mencari kursi dan menikmati angin spoi_spoi sambil menghirup kopi yang ada dihadapan saya. Namun, pertanyaan kasir tadi terus “menggelayut” di fikiran saya, mengapa peristiwa yang sudah hampir sebulan masih saja membekas di memori seorang wanita penjual kopi itu. Bukankah di negeri tempat pristiwa itu terjadi (baca:Indonesia) justru masalahnya dianggap biasa_biasa saja, terbukti belum ada yang secara “kesatria” tampil di depan publik menyatakan bertanggung jawab dan bersalah atas pristiwa yang menelan korban sekitar 135 jiwa orang. Tetapi yang kita simak dari pemangku kekuasaan justru akan membangun stadion yang lebih mewah dan refresentatif. Ada kesan yang “dikambing hitamkan” adalah infrastruktur stadionnya. Dalam artian bukan pengelola pertandingan dan induk organisasi sepak bola yang ada. Sebab dianggap stadion sudah tak layak lagi sebagai sebuah stadion standar internasional. Pertanyaannya, apakah itu sudah menjadi solusi dan sudah menjawab akar masalah yang ada. Wallahu allam’bisswab.
Jakarta, 30 Oktober 2022.