Ein Idiot ist ein Idiot. Zwei Idioten sind zwei Idioten. Zehntausend Idioten sind eine politische Partei~Franz Kafka.
Saat ini merupakan pekan tersibuk dan penuh gejolak dalam dunia politik di Malaysia. Para pemimpin partai politik satu persatu merapatkan barisan membentuk ‘pakatan’ alias koalisi. Jika melihat peta yang ada, setidaknya ada empat koalisi yang berebut suara pengundi untuk mencari tiket menjadi penguasa parlemen dan sekaligus menjadi perdana menteri.
Barisan Nasional (BN) sebagai pemegang kendali kekuasaan yang dinakhodai oleh Perdana Menteri Ismail Sabri Yahkoob, Perikatan Nasional yang mencalonkan Muhyiddin Yassin sebagai perdana menteri, Pakatan Harapan (PH) yang konsisten mengusung Anwar Ibrahim, dan koalisi Gabungan Tanah Air (GTA) yang dibentuk oleh Mahathir Mohamad.
Untuk GTA, karena pakatan teranyar, belum menentukan calon perdana menteri, tapi sudah pasti akan mengusung Mahathir. Pembahasan jabatan perdana menteri hanya relevan kalau kita menang, kata Mahathir.
Pemilihan Raya Umum ke-14 yang disingkat PRU-14 akan dihelat pada 19 November 2022. Pemilihan umum di Malaysia memiliki beberapa persamaan dengan Indonesia, namun banyak pula perbedaannya. Agar tidak keliru, perlu saya gambarkan sedikit kepada pembaca. Kita mulai dari para calon anggota parlemen yang terbagi dua. Dewan Undangan Negeri (DUN) untuk tingkat negeri bagian, di sini setingkat dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Propinsi.
Pemilik suara mayoritas DUN secara otomatis menjadi menteri besar atau gubernur negara bagian. Calon selanjutanya adalah anggota parlemen tingkat pusat, atau DPR RI di Indonesia. Jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 222, jika bisa memenangi 114 kursi maka sudah bisa menjadi pemegang kendali kerajaan dan berhak menunjuk perdana menteri secara otomatis.
Para kontestan atau petarung kursi parlemen baik DUN maupun Pusat, juga terbagi menjadi tiga bagian. Umumnya bertanding melalui koalisi atau pakatan. Katakanlah, Barisan Nasional, yang bertanding di Gombak yang menyediakan satu kursi Parlemen Pusat. Di Sini, Dotuk Sri Mohamet Azmin Ali sebagai incumbent yang juga menjabat Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia berhadapan dengan Menteri Besar Selangor, Datuk Seri Amiruddin Shari yang mewakili Pakatan Harapan, dulu Azmin Ali adalah perwakilan PH yang kini menyeberang di koalisi BN dan balik menantang PH.

Ada pula calon independen (perorangan tanpa partai) yang melawan dua politisi kelas kakap di atas, seorang pengacara sensasional, Azwan Ali atau lebih dikenali sebagai Diva AA memastikan bertanding atas tiket calon Bebas. Gambaran ini menunjukkan bahwa kursi parlemen bisa diraih atasnama partai koalisi, perorangan atau tanpa partai, dan satu lagi, boleh mencalonkan diri melalui partai minus koalisi.
Dari sini, penetapan perwakilan koalisi sering kali bermasalah, sebab satu koalisi memiliki banyak partai seperti juga di Indonesia. Namun masalahnya, di sana, setiap koalisi yang bertarung di daerah pilihan hanya boleh mendorong satu nama untuk satu kursi. Sementara banyak calon yang berharap dipasang di dapil mereka yang selama ini menjadi basisnya.
Sebagai contoh, Datuk Sri Shahidan Kassim, mantan menteri dalam Kabinet federal Najib Tun Razak dan anggota Parlemen Malaysia untuk kursi Arau, mewakili UMNO. Ia adalah Ketua Menteri Negara Bagian Perlis dari 1995 sampai 2008. Untuk PRU-15, Barisan Nasional mendepak Shahidan dari calon Parlimen Arau yang telah dikuasai sejak 1986 lalu menunjuk Datuk Rozabil Abdul Rahman. Shahidan tak terima, memberontak dan menyatakan siap mempertahankan Arau walau tanpa lewat partai UMNO di bawah BN.
Melihat kemelut itu, Perikatan Nasional memanfaatkan mementum emas itu, merayu Shahidan agar bertanding dengan menggunakan tiket Perikatan Nasional, lalu deal.
Setelah penetapan nama Shahidan Kassim sebagai calon Perikatan Nasional yang akan melawan Barisan Nasional, dengan vulgar mengatakan bahwa Zahid Hamidi, Presiden UMNO yang menggugurkan namanya adalah seorang yang kerjanya ‘tipu-menipu’.
Tapi dari sekian calon yang mendapat sorotan tajam dari berbagai media adalah langkah Pengerusi Pakatan Harapan, Datuk Seri Anwar Ibrahim mengumumkan akan bertanding merebut kursi Parlemen Tambun, Perak walaupun dia merupakan perwakilan dari Parlemen Port Dickson setelah menang besar dengan selisih (majoriti) 23.560 pemilih pada Oktober 2018.

Anwar Ibrahim akan berhadapan dengan Datuk Seri Ahmad Faizal Azumu, kini melalui tiket BN, yang pada tahun 2018 merupakan calon Pakatan Harapan. Langkah Anwar Ibrahim dianggap sebuah keberanian, penuh spekulasi, dan sangat rawan. Para lawan politiknya dari BN, PN, dan GTA menganggap bahwa Anwar menggali kuburan politiknya di Tambun, bertanding di tempat yang belum jelas kemenangannya jika dibandingkan dengan Port Dickson. Tapi, Anwar Ibrahim tetaplah seorang politisi matang dan penuh perhitungan, sebelum menang besar di Port Dickson, ia telah meniti karir dengan beberapa kali memenangi kursi parlemen di Permatang Pauh, Penang.
Apalagi, Anwar ternyata pernah menetap di Tambun selama tujuh tahun. Dengan karakter kuat, sebagaimana Mahathir Mohamad, bertanding dengan tiket apa pun, di mana pun, akan tetap sulit terkalahkan, dan tentu rakyat Tambun akan merasakan efeknya ketika kelak Anwar menang dan berhasil menjadi perdana menteri dalam PRU-15 ini.
Kemaruk Kuasa
Setelah pilihan raya umum 2018, Pengerusi Pakatan Harapan, Mahathir Mohamad telah dilantik sebagai Perdana Menteri Malaysia, sementara presidennya, Wan Azizah Wan Ismail, dilantik sebagai Timbalan Perdana Menteri. Mahathir Mohamad menjadi Perdana Menteri pertama dari Pakatan Harapan, dan Perdana Menteri pertama yang mempunyai tempoh dengan dua partai yang berbeda. Pada 24 Februari 2020, Mahathir meletak jabatan sebagai Perdana Menteri. Banyak spekulasi melatari kenapa Mahathir mengundurkan diri sebagai perdana menteri.
Namun dapat dipastikan bahwa sesuai perjanjian dengan Anwar Ibrahim bersama Mahathir, bahwa hanya dalam tempo dua tahun, Mahathir akan menyerahkan kursi Perdana Menteri pada Anwar. Mahathir ingin ingkar janji, dan tidak mau ditagih terus menerus dengan Anwar.

Ketika Mahathir mundur, terjadi kekosongan, Muhyiddin Yassin memanfaatkan momen emas tersebut, mencari dukungan dari berbagai pihak, baik dari Barisan Nasional, maupun dari Pakatan Harapan agar meninggalkan koalisi dan berbalik mendukung Muhyiddin. Apa yang terjadi terjadilah.
Muhyiddin Yassin melakukan gerakan politik, menggembosi suara Mahatir Muhammad di parlemen. Lalu, ia sendiri mengumpulkan suara-suara Mahatir agar menjadi miliknya. Raja pun menolak mengangkat Mahathir Mohamad kesekian kalinya jadi Perdana Menteri. Maka, jadilah Muhyiddin Yassin sebagai Perdana Menteri.
Anwar berkoar-koar, Mahathir Mohamad “mengkhianati saya”. Dan Mahathir lantang berteriak, Muhyiddin Yassin “mengkhianati saya”. Tidak hanya itu, Mahathir yang mendirikan Partai BERSATU bersama Muhyiddin, malah dipecat oleh Muhyiddin yang merupakan anak didiknya sendiri. Seperti karma, Muhyiddin sejak naik jadi perdana menteri tidak pernah nyenyak. Seakan duduk di atas bara api, Mahathir terus memojokkan dirinya sebagai perdana menteri yang ‘tidak layak’, dan kekuasaannya diperoleh melalui ‘pintu belakang’.
Hanya 17 bulan berkuasa, Muhyiddin digulingkan oleh Barisan Nasional terutama UMNO yang dipimpin oleh Zahid Hamidi. Barisan Nasional menunjuk Ismail Sabri Yakoob sebagai Perdana Menteri hingga saat ini. Inilah masa-masa dimana politik di Malaysia suram dan kelabu, pengukuhan ajaran Machiavelli, tujuan menghalalkan segala cara (end justifies the means) terlihat jelas.

Andai saja para pemimpin Melayu ingin bersatu demi kebaikan dan kemajuan bangsa dan tanah Melayu, pasti lebih baik. Bersatu memang payah dan kadang menyakitkan, tetapi perpecahan selalu menghasilkan penderitaan dan kesengsaraan untuk bangsa, negara, agama, dan masa depan rakyat. Jika melihat komponen partai-partai berbasis pendukung Melayu-Islam seperti UMNO di bahwa Zahid Hamidi, Parti Islam Semalaysia (PAS) oleh Tuan Guru Abdul Hadi Awang dan BERSATU di Bawah Muhyiddin yang tergabung dalam Perikatan Nasional, Parti Keadilan Rakyat (PKR) di bawah Anwar Ibrahim, Parti Amanah Negara oleh Muhammad Sabu dalam Pakatan Harapan, hingga partai-partai Malayu-Islam gurem yang bergabung di bawah GTA atas kendali Mahathir. Kalau mereka sepakat untuk bersatu memilih pemimpin yang tepat, tentu kepentingan Islam Melayu akan unggul dan bermartabat.
Para pucuk pimpinan partai tersebut semua memiliki masalah. Partai Melayu Bersatu (UMNO) dikenal sebagai partai sarang koruptor, bahkan Zahid Hamidi yang telah berumur 69 tahun sebagai ketua partai harus berdepan dengan 47 kasus korupsi di Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur. Karena itu, Muhyiddin Yassin menyebut para politisi UMNO sebagai penyamun. Lalu mereka membalas dan balik mengatai Muhyiddin sebagai koalisi ‘katak’, karena lompat sana lompat sini demi mengejar kuasa. Maharhir Mohamad pula dinilai sudah sekarat, berumur 97 tahun tapi masih kemaruk kuasa. Bahkan masih aktif melakukan serangan terhadap UMNO dan Muhyiddin.
Kini ia mengusung ide gerakan tanah air yang ingin menyatukan Melayu dan Islam untuk melawan Cina. Padahal ketika berkuasa lebih dari dua dekade tidak terlalu terlihat secara spesifik sumbangsihnya pada Melayu dan Agama Islam secara khusus, karena itulah Parti Islam Semalaysia tidak pernah akur dengan Mahathir. Aneh sebab ketika terpojok, barulah ia berusaha mengumpulkan sisa-sisa nafasnya untuk menyatukan bangsa Melayu. Anwar Ibrahim pula dinilai terlalu dekat dengan Cina di bawah Democratic Action Party (DAP). Anggota dari DAP hampir semuanya orang Cina dan kerap kali bermasalah dengan Melayu Islam.
Bahkan tidak jarang mempersendaguraukan ajaran agama, lambang negara, hingga masalah tulisan huruf Jawi. Ketika Pakatan Harapan berkuasa, sentimen beragama di Malaysia kadang tegang, khususnya Melayu versus Cina. Masalahnya, Cina di Malaysia terlanjur besar, hampir 40 persen, sementara Melayu 60 persen, lebihnya adalah campuran, termasuk India.
Jika saja, Anwar siap membuang egonya jauh-jauh, bersatu dengan para pemimpin Melayu, tentu akan lebih baik. UMNO sendiri mengakui diri sebagai sarang penyamun, “Kita harus menang, sebab kalau kalah kita semua akan masuk penjara”, kata Ketuanya. Ini bukan sendagurau, sebab mantan Perdana Menteri Malaysia, yang juga pemimpin tertinggi UMNO kini sedang mendekam di Penjara Sungai Buloh Malaysia. Walau setidaknya, mereka pasti muslim dan ketika sadar dan taubat akan kembali mulia.
Para pemimpin Melayu dalam PRU-15 kali ini seharusnya mengedepankan konsep wala’ wal bara’. Konsep ini menjadi salahsatu kesempurnaan dalam agama, dan bagian esensial dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Wala’ secara bahasa berarti ‘dekat’, dari segi istilah, berarti ‘dekat dengan kaum muslimin dengan mencintai mereka, membantu mereka, dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka’. Sedangkan ‘bara’ berarti ‘memotong’.
Dari sudut istilah ‘Memutus hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka, serta tidak tinggal bersama mereka’. Banyak dalil terkait konsep wala’ wal bara’ ini, baik dari ayat maupun hadis, namun saya hanya kemukakan satu dari hadis Nabi bersumber dari Abdullah Ibn Abbas dan dirawikan Ath-Thabari dalam kitab ‘Al-Kabir’.
“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi wala’ karena Allah, dan memusuhi karena Allah, maka sesungguhnya hanya dengan itu kewaliyan Allah dapat diperoleh. Dan seorang hamba itu tidak akan merasakan lezatnya iman sekalipun banyak salat dan puasanya sehingga ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum bahwa persaudaraan manusia selalu berdasarkan pada kepentingan duniawi padahal yang seperti itu tidak akan bermanfaat bagi pelakunya”.
Kini waktunya para politisi kawakan di Malaysia membuktikan bahwa skala prioritas dalam menyusun manifesto atau agenda kampanye adalah penyatuan dan persatuan, dahulukan kepentingan negara di atas agenda partai dan golongan tertentu, dahulukan bangsa Melayu dari selain mereka. Kestabilan politik Malaysia dan kemapanan ekonomi mereka akan terasa langsung hingga di pelosok desa terpencil di Indonesia, termasuk di tempat tinggal saya.
Mulai dari prabot rumah tangga hingga makanan dan penganan tidak sedikit yang diimpor langsung dari Sabah-Serawak. Bahkan gelas dan isinya berupa susu yang saya minum ketika menulis artikel ini adalah buatan Malaysia. Mari buktikan bahwa Frans Kafka yang mengatakan, ‘satu orang bodoh itu nilainya tetap satu orang bodoh, dua orang bodoh dinilai dua orang bodoh. Sepuluh ribu orang bodoh berkumpul, itulah partai politik’ adalah salah, kecuali kalau memang kata-kata bijak ini benar-benar bijak untuk pemimpin Melayu yang kemaruk kuasa. Wallahu A’lam!
Enrekang, 5 November 2022.