Indonesiainside.id, Jakarta – Pada 17 Agustus 1956, Provinsi Perjuangan Irian Barat dengan Soa-Sio sebagai Ibu Kota dibentuk. Sultan Tidore Zainal Abidin Syah diangkat sebagai gubenur pertama. Pembentukan itu ditengarai kegagalan dalam berbagai perundingan dengan Belanda meski telah diprakarsai oleh PBB.
Peneliti Sejarah Budaya Maluku, Prof. Mus Huliselan, mengatakan, para tokoh dan masyarakat Tidore mengatakan bahwa Zainal Abidin Syah bukan gubernur pertama provinsi Irian Barat. Mereka menyebutnya sebagai gubernur pertama provinsi perjuangan Irian Barat dan Zainal Abidin Syah sebagai gubernur perjuangan pengembalian Irian Barat.
“Kata berjuang bagi mereka sangat penting, sebab menurut mereka, dari Tidore-lah Irian Barat diperjuangkan untuk menjadi bagian yang tidak terpisah dari NKRI,” ucap Mus Huliselan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta, Kamis (12/3).
Kementerian Dalam Negeri melantik Zainal Abidin Syah dilantik sebagai gubernur pada 23 September 1956 dengan surat keputusan presiden No.412/1956.
Dengan beralihnya Soa-Sio sebagai Ibu Kota provinsi perjuangan Irian Barat, maka Zainal Abidin Syah menggelar pertemuan mendadak di Masjid Kesultanan usai salat Magrib. Pada pertemuan itu, ia menyampaikan bahwa Tidore telah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi perjuangan Irian Barat. Ia meminta pandangan para tokoh dengan keputusan tersebut.
“Pertemuan itu dihadiri oleh para Bobato Staf Kesultanan, para kepala soa/kampung, tokoh adat dan masyarakat Tidore,” ucap Mus Huliselan. Keputusan Tidore dijadikan ibu kota provinsi perjuangan Irian Barat disambut dengan gegap-gempita seluruh masyarakat Tidore dan masyarakat Halmahera.
“Masyarakat sangat gembira dan mendesak agar ada gerakan, walaupun saat ini masyarakat belum memahami dengan baik apa itu pembebasan Irian Barat,” ujar dia.
Pada saat itu, Sultan Zainal Abidin Syah meminta kepada bobato dunia (urusan dunia) dan bobatoakherat (urusan agama) melihat waktu yang tepat untuk pergelaran upacara Tolak Gumi (potong tali/potong pita). Upacara itu sebagai peresmian pembukaan lahan pertama lokasi ibu kota provinsi perjuangan Irian Barat.
Upacara adat tola gumi dipimpin Imam Tugugu Abdurahman, melalui penebangan pohon kelapa dengan kapak. Itu sebagai penanda mulai dapat dilakukan pembukaan lahan untuk pembangunan ibu kota baru provinsi perjuangan Irian Barat.
Kala itu, Zainal Abidin Syah dalam pidatonya mengajak masyarakat Tidore dan sekitarnya “demi kesatuan negara RI maka pulau Irian yang sementara dijajah Belanda pada saat ini, dalam perjuangan untuk mengembalikannya ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi”.
Mus Huliselan menjawab pidato Sultan Zainal Abidin Syah dengan semangat perjuangan. “Tanah, batu, pohon yang ada di atas tanah ini termasuk nyawa kami, kami sedia berikan untuk pemerintah, untuk Irian Barat dapat segera kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” ucap dia menirukan.
Usai upacara Tola Gumi, masyarakat mulai bekerja bahu-membahu membuka lahan bagi pembangunan Ibu Kota provinsi perjuangan Irian Barat. Lokasi ibu kota terletak di Goto, sebelah Timur Soa-Sio yang kemudian dinamakan Indonesiana yang artinya Indonesia ada di sana.
“Ini merupakan satu sinyal kepada Belanda bahwa Indonesia ada di sana, yaitu di Tidore dan di Irian Barat,” ucap Mus Huliselan.
Pembangunan ibu kota memakan waktu 2 tahun. Di dalamnya dibangun Kantor Gubernur, Kantor Polisi Negara dan instansi dinas lainnya, termasuk asrama TNI-Polri. Juga ada perumahan perwira dan dermaga laut Goto (sekarang Dermaga Trikora).
Pada tahun 1957 radio Republik Indonesia (Studio Perjuangan) didirikan di Soa-Sio. Pembangunan RRI itu agar masyarakat mendapat informasi yang benar dan luas.
Sultan Zainal Abidin Syah menyambut dengan gembira kehadiran radio perjuangan RRI itu. Ia menempatkan pemancarnya di lokasi Kraton Kesultanan. Untuk memperkuat jangkauan siaran ditempatkan antena pemancar RRI di Desa Umera di Gebe yang sangat strategis karena berhadapan dengan Irian Barat. Sehingga, siaran radio sangat jelas diterima di daratan Irian Barat.(EP)