Oleh : Eko P |
Pemerintah dinilai lemah dan diam atas teror yang terjadi pada para penyelidik KPK.
Indonesiainside.id, Jakarta — Presiden Jokowi sudah berulangkali menegaskan mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi termasuk dalam debat Pilpres 2019 beberapa waktu lalu. Namun, keseriusan itu dipertanyakan, karena kenyataannya hingga kini berbagai teror kepada para penyidik KPK belum juga terungkap.
Selain kasus teror yang menimpa para pegawai KPK, termasuk juga atas diri Penyidik senior Novel Baswedan. Presiden Jokowi diyakini pasti mengetahui persoalan ini.
“Beliau pastinya tahu semua serangan ke KPK tidak ada satupun yang terungkap,” ujar Novel.
Novel menyinggung hal itu dalam diskusi bertajuk Teror dan Kriminalisasi terhadap Aparat Penegak Hukum di restoran d’Consulate, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu kemarin (23/2).
“Saya ingin menggambarkan apa yang dilakukan selama ini, baik oleh aparatur yang seharusnya menegakkan hukum tapi tak melakukan, sampai dengan pucuk pimpinan negara yang diam dengan masalah ini. Ini hal yang luar biasa buruk,” kata Novel.
Novel mengingatkan komitmen Jokowi mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi. Faktanya, Jokowi kebanyakan lebih terkesan diam menyikapi kasus teror yang menimpa pegawai KPK.
“Saya melihat kembali dalam beberapa penyampaian beliau mendukung pemberantasan korupsi, mendukung KPK dan lain-lain. Ini kok tidak terlihat ketika banyak pegawai KPK, lebih dari lima, banyak diserang dan banyak kasus tertentu ketika kasusnya besar justru yang mengungkap itu diteror secara psikologis dan fisik. Ini tidak didukung presiden,” kata Novel.
Karenanya, Novel terpaksa berjibaku menyuarakan hal ini kepada media dan ruang publik. Khususnya, mengenai payahnya negara dalam mengungkap kasus yang menimpa pegawai KPK dan juga dirinya.
“Saya berjanji akan berhenti ‘bernyanyi’ saat kasus-kasus teror atas KPK berhasil diungkap,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, mantan anggota Polri itu juga mengungkapkan alasan kenapa dirinya menolak ketika dimintai tolong Polri untuk membantu mengungkap kasus teror yang dialaminya. Sebab dirinya meyakini kasusnya tak benar-benar hendak diungkap secara tuntas.
“Ketika saya dituntut memberikan bukti, saya menolak. Kenapa saya menolak? Bukti serangan kepada saya yang sangat terang benderang saja dihilangkan kok. Alat bukti sidik jari dalam gelas yang dipakai untuk menyerang saya dihilangkan. Bukti sidik jari ditempat lain juga dihilangkan,” kecamnya.
Ditambahkannya, bukti CCTV sangat jelas dan sebelumnya pernah dipakai dalam pengungkapan kasus jambret dekat rumahnya. “CCTV di dekat rumah saya, tidak diambil. Dan bukti-bukti lain tidak diambil,” tambahnya.
Novel curiga jika bukti-bukti yang dimiliki dirinya diserahkan kepada Polri maka bukti-bukti tersebut akan dihilangkan.
“Apakah kemudian saya dengan lugunya atau dengan bodohnya memberikan bukti-bukti itu semua sekarang untuk dihilangkan secara sempurna? Saya kira tidak begitu,” terangnya.
Novel juga merasa Polri sendiri mempersulit pengungkapan. Padahal, sedari awal penyerangan terjadi, dirinya sudah berusaha bersikap sekooperatif mungkin. Namun hingga dua tahun lebih berjalan, kasus itu tak menemui titik terang.
“Dari Polsek, Polres, Polda bertanya kepada saya saat saya berbaring di UGD. Semua sudah saya terangkan, semua hal yang ditanya saya jelaskan. Setelah berjalan sebulan, dua bulan, tiga bulan, saya yakin bukti-bukti penting itu sudah pada dihilangkan,” sambungnya.
Karenanya, Novel memilih memperjuangkan aspirasinya melalui media.
Seperti diketahui secara luas, sebelum debat Pilpres pertama, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menunjuk beberapa orang untuk menangani kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan.
Berdasar Surat Tugas Kapolri yang ditandatangani pada 8 Januari 2019, Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF Novel Baswedan ini terdiri dari 65 orang. Enam orang dari KPK, tujuh orang pakar, dan sisanya 52 dari kepolisian.
Pegiat Hak Asasi Manusia Haris Azhar menyebut pembentukan Tim Gabungan kasus Novel Baswedan terkesan hanya untuk persiapan Presiden Jokowi dalam debat capres. Sebab, itu membahas isu hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.
Dia mempertanyakan mengapa tim ini justru mulai bekerja menjelang debat Capres perdana kemarin.
“Aneh, kok seolah bekerja pas mau debat. Saya khawatir tim ini hanya untuk menyediakan jawaban buat Jokowi saat debat,” katanya.
Hingga kini TPGF bentukan Kapolri tersebut belum diketahui perkembangannya sejauh mana. (EPJ)