Oleh: Muhajir
Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua Majelis Riset bidang Pemikiran Islam dan Gender MIUMI, Henri Shalahuddin, menjelaskan beberapa bahaya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) jika disahkan. Salah satu dampak yang sangat berbahaya adalah seks pranikah dibolehkan atau dilegalkan, asal suka sama suka.
Dia menjelaskan, RUU P-KS lebih banyak didominasi ideologi feminis radikal. Feminisme dan paham kesetaran gender awalnya merupakan sebuah wacana kontroversial yang masuk ke dunia akademik, lalu dipaksa menjadi materi kuliah dan kemudian didorong menjadi UU yakni RUU KKG dan P-KS.
Hendri menilai, RUU P-KS adalah parasit bagi ketahanan keluarga Indonesia. Ini karena seks pranikah dianggap biasa dan justru tidak memperdulikan aspek legalitas melalui perkawinan yang sah.
“Sebab suami pun akhirnya bisa dipidanakan karena delik pemerkosaan terhadap istrinya,” kata Hendri kepada Indonesiainside.id, Ahad (28/7).
Dia menjelaskan, istilah Kekerasan dalam RUU tersebut bersifat manipulatif dan penuh jebakan. Menurut dia, jika bertujuan melindungi semua wanita, kenapa tidak diganti dengan RUU kejahatan Seksual?
Dia menjelaskan, RUU P-KS hanya memberikan ‘perlindungan’ yang bersifat individual untuk elit perempuan yang berhasrat merebut kekuasaan melalui politik tubuh dan seksualitas perempuan. Baik kekuasaan publik maupun kekuasaan domestik.
“RUU P-KS yang merupakan kelanjutan RUU KKG yang sudah ditolak oleh bangsa Indonesia, pada hakekatnya bertujuan memastikan Kedaulatan Tubuh Perempuan, di mana perempuan berhak mengatur, mengelola dan melakukan apa saja terhadap tubuhnya tanpa diintervensi oleh agama dan negara; kitab suci dan UU,” kata dia.
Tapi justru di situlah letak masalahnya, jika RUU P-KS ini disahkan, pada akhirnya perempuan juga tidak bebas memiliki tubuhnya sendiri, dan harus menyerahkan pengelolaan tubuhnya pada UU P-KS.
“RUU P-KS adalah bentuk kodifikasi dan peng-UU yang diilhami oleh metode feminis dlm dunia akademis yang sarat kontroversi dan ditujukan untuk mematikan metode ilmiah membawa ruh sekularisme, cenderung mengacuhkan nilai-nilai agama dan Pancasila,” ucap Henri.
“RUU ini berakar pada ideologi kedaulatan tubuh di mana perempuan berhak mengelola tubuhnya sendiri tanpa intervensi agama dan negara. Ujungnya feminis melakukan politisasi tubuh perempuan untuk meraih kuasa tawar [bargaining power] dengan cara-cara yang tidak wajar,” kata Doktor dalam bidang gender itu.
Rapat Paripurna DPR telah menyepakati perpanjangan pembahasan rancangan beleid tentang RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Hendri meminta agar masyarakat bersama-sama menentang RUU P-KS ini demi kekokohan keluarga Indonesia. (EP)