Oleh: Annisa Fadhilah
IndonesiaInside.id, Jakarta – Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) dituding dibuat secara tertutup dari masyarakat dan kurang memposisikan masyarakat. Bahkan para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti WALHI dam Jatam, tidak diundang dalam diskusi mengenai rancangan RUU Minerba.
“Pemerintah seharusnya melibatkan seluruh pihak, baik mahasiswa hingga elemen masyarakat. Sebab, aktivitas pertambangan memiliki dampak besar terhadap masyarakat, terutama di daerah tambang,” ujar Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho di Jakarta, Kamis (26/9).
Aryanto juga menambahkan selama ini Komisi VII DPR RI dan ESDM selalu mengadakan rapat tertutup saat membahas RUU Minerba ini, hal itu menimbulkan kecurigaan banyak orang.
Peneliti dari Auriga Nusantara, Hendrik Siregar menduga percepatan pembahasan RUU Minerba merupakan bagian dari utang budi pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) kepada pengusaha yang mendukung masa kampanye, yang kontrak pertambangannya akan segera habis.
Hendrik mencatat ada 25 PKP2B (Perusahaan Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan 5 KK (Kontrak Karya) yang akan habis kontrak dalam periode 2020-2025. Beberapa perusahaan yang akan habis kontraknya seperti PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama, PT Vale Indonesia Tbk, hingga PT Freeport Indonesia.
Salah satunya, Adaro Energy merupakan perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) Generasi I yang kontraknya akan berakhir pada 2022. Apabila RUU Minerba ini ketok palu maka izin Kontrak Karya (KK) atau PKP2B bisa diperpanjang dengan status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).(*/Dry)