Oleh: Ahmad ZR
Indonesiainside.id, Jakarta — Peneliti Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR), Eka Ari Pramuditya, mengatakan banyak orang tua korban yang tidak dilayani dengan baik ketika datang ke kepolisian. Padahal, dalam KUHAP para korban wajib diberikan akses untuk menemui pendamping hukum dan orang tuanya.
“Jika ada kitab hukum dalam kontitusi, itu adalah kitab rujukan dalam penegakan hukum. Jadi, kalau teman-teman melihat masih ada kepolisian yang berbuat begitu, hukum apa yang dia pakai?” kata Ari di kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (4/10).
Ari menuturkan, dalam KUHAP diatur beberapa ketentuan, seperti dilarang melakukan penangkapan sewenang-wenang. Penangkapan, kata dia, harus dilakukan jika objek berbuat tindak pidana dan melawan hukum.
“Kita punya hak dalam KUHAP Pasal 17. Tidak bisa massa ditangkap dulu dan polisi bilang nanti dijelaskan di kantor polisi,” ujarnya.
Selain itu, korban yang ditangkap wajib menemui dan berkomunikasi dengan pensehat hukum kapanpun. Hak ini diatur dalam Pasal 54-56 KUHAP.
Kemudian, hak lain adalah tidak diisolasi terhadap dunia luar. Seperti menemui penasehat hukum, dokter dan memberikan informasi kepada pihak berwenang, yaitu keluarga.
“Pada penangkapan kemarin, orang tua tidak mendapatkan informasi terkait penangkapan dan penahanan,” ujarnya.
Termasuk bertemu dengan rohaniawan diperbolehkan dalam KUHAP. Selain itu, orang yang ditahan dapat memberikan keterangan kepada penyidik tanpa ada kekerasan fisik, psikologis dan seksual.
“Kalau hukum-hukum dalam KUHAP ditabrak, hukum apa yang dipakai?,” katanya menegaskan.
Tak hanya dalam KUHAP, ketentuan-ketentuan tersebut juga diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap). Korban yang ditangkap dilarang dilakukan penganiayaan, pengeroyokan hingga kekerasan seksual.
“Polri harus ingat asas profesionalitas, nesestitas dan proporsionalitas yang ada di dalam Perkap,” katanya. (Aza)