Indonesiainside.id, Jakarta – Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya tak dilakukan. Karena yang mendesak diperbaiki adalah UU Tindak Pidana Korupsi, terutama menyangkut hukuman bagi koruptor.
Pasalnya, denda maksimal Rp1 miliar bagi koruptor dianggap terlalu ringan. “Kalau Rp1 miliar untuk perusahaan besar, ya kacang itu. Jadi kalau mau benar, hukuman badan maksimum 10 tahun misalnya, tetapi dendanya Rp100 miliar. Itu lebih pas,” kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif di Jakarta, Rabu, (11/12).
Dia memberi contoh kasus yang ditangani KPK, terutama menyangkut proyek. Bagi-bagi duit di situ mencapai 25 persen dari total nilai proyek.
“Kami pernah melihat sampai 25 persen, untuk internal pemerintah 10 persen, mengamankan aparat penegak hukum 10 persen, untuk mengamankan auditor 5 persen, jadi tinggal 75 persen yang dipakai untuk membangun,” kata Laode.
Sementara untuk Operasi Tangkap Tangan (OTT), dia mencatat uang dikorupsi dari 10 hingga 15 persen. Atas dasar ini, Laode menyebut revisi UU Tipikor lebih mendesak, dibandingkan UU KPK.
Sebab kaitannya langsung dengan ganjaran pada koruptor dan masa depan pembangunan Indonesia. Karena kejahatan korupsi menghalangi investasi di Indonesia.
“Mengapa mereka (pemodal) tidak mau datang ke Indonesia? makanya men-dismantle anti-corruption agency seperti KPK itu tidak sesuai dengan logika sebenarnya,” kata Laode. (Aza)