Indonesiainside.id, Jakarta – Rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membebaskan narapidana (napi) koruptor terus mendapatkan penolakan. Salah satunya datang dari Koordinator Advokasi dan Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim.
Dia mengkritik rencana Menteri Yasonna merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurutnya, motivasi politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu merevisi PP tersebut agar dapat membebaskan napi koruptor bersamaan dengan pembebasan 30.000 tahanan di seluruh lapas di Tanah Air terkait pencegahan virus corona di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Selain terkait pencegahan Covid-19, 30.000 napi tersebut hendak dibebaskan dengan alasan kapasitas lapas yang tidak lagi ideal. “Kalau kelonggaran (pembebasan) napi (koruptor) justru dengan cara merevisi PP 99 itu sangat tidak relevan. Itu kan jumlahnya cuma 300 (napi koruptor), berapa persen sih dari populasi penghuni penjara?” kata Afif kepada Indonesiainside.id, Kamis (2/4).
“Yang 300 dibanding yang 20.000 an itu, jumlahnya sangat kecil. Ini kita khawatir ada hal yang ingin didorong oleh menteri Hukum dan HAM soal napi korpusi dibebaskan,” ucapnya.
Di sisi lain, Afif setuju PP Nomor 99 tahun 2012 itu direvisi asal penekanannya bukan pada napi koruptor, tapi menyasar kasus narkotika. Menurutnya, praktik Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika salah sasaran.
Selama ini, kata dia, banyak pengguna yang justru dikenai pasal untuk bandar narkoba. Padahal, statusnya hanya sebagai pengguna sehingga hukumannya mencapai lima tahun penjara. Semantara, hukuman di atas itu dikenakan PP Nomor 99 tahun 2012.
Hal itu pula yang menyumbang peranan banyaknya penjara yang kelebihan kapastitas. Afif mengatakan, jika Yasonna hendak membebaskan napi dengan alasan mencegah penyebaran virus corona di lapas, maka dia harus fokus kepada terdakwa yang dipenjara karena praktik hukum yang salah sasaran tersbeut. Contoh, pengguna yang dipenjara namun dikenakan pasal bandar.
“Sebenarnya kalau kita mau perhatikan, napi kasus narkotika kenapa sampai banyak karena kebijakan narkotika yang salah arah sejak awal. Pemerintah gemar sekali menggunakan sistem hukum pidana untuk menggiring orang-orang yang terlibat dengan bandar besar ke dalam penjara. Padahal, pendekatan yang digunakan bukan hanya perspektif hukum. Harusnya perspektif kesehatan atau medis, mendapatkan layanan kesehatan misalnya rehabilitasi,” ucapnya.
Dia mencontohkan, banyak napi narkotika dengan barang bukti tidak seberapa tetapi dikenakan pasal bandar narkoba. Fakta itu harus menjadi perhatian Yasonna, sehingga tidak hanya fokus pada pembebasan koruptor dengan cara merevisi PP Nomor 99 tahun 2012.
“Ketika pasal bandar, hukumannya pasti di atas lima tahun. Ketika divonis di atas lima tahun maka PP Nomor 99 tahun 2012 berlaku ke dia. Padahal dalam statusnya terdakwa ini hanya pengguna, bukan bandar. Itu yang perlu dikritisi juga,” ucapnya.
“Di titik itu, kalau misalnya Yasonna mau membuat kebijakan napi-napi narkotika, itu juga bagus. Kita merekomenasikan terhadap terdakwa yang dikategorikan bandar tapi barang buktinya kecil. Itu justru yang harus dimasukkan ke dalam napi yang akan dibebaskan,” tuturnya. (ASF)