Indonesiainside.id, Jakarta – Rencana pembebasan narapidana koruptor atas alasan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) sekaligus pencegahan penyebaran virus corona dengan jalan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tidak tepat.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Agil Oktarya, menegaskan, langkah tersebut sama saja menodai pemberantasan korupsi di Indonesia. Termasuk, kata dia, melenceng jauh dari kebijakan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna yang mengeluarkan Peraturan Menteri (Permenkumham) Nomor 19 tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19.
“Rencana kebijakan tersebut jelas tidak tepat dan menodai semangat pemberantasan korupsi. Sudah cukup Menkumham terlibat dalam penghancuran KPK, jangan ditambah-tambah lagi,” kata Agil kepada Indonesiainside.id, Kamis (2/4).
“Melalui keputusan tersebut ada 30.000 napi yang dibebaskan, tetapi dalam keputusan ini ditegaskan bahwa narapidana seperti koruptor dan narkotika sebagaimana diatur dalam PP 99 tahun 2012 dikecualikan, artinya koruptor tidak masuk kategori untuk dibebaskan selama masa Covid-19,” ucapnya.
Agil lantas menyoroti alasan Yasonna membebaskan ribuan napi selama Covid-19 karena kelebihan kapasitas lapas. Sementara, koruptor yang hendak dibebaskan adalah mereka yang berusia di atas 60 tahun dan telah melewati 2/3 masa hukuman.
“Data Kemenkumham menunjukkan koruptor yang berada di usia itu sekitar 300 orang. Artinya relatif sedikit. Oleh karena itu, jumlah ini tidak akan mempengaruhi pengurangan over capasity itu. Oleh karenanya, 30.000 napi selain koruptor itu saya rasa sudah cukup,” ungkapnya.
Atas dasar itu, Agil meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi Yasonna karena telah memancing kontroversi baru pada saat masyarakat khawatir dengan penyebaran Covid-19. Sebelumnya, Yasonna pada rapat virtual dengan Komisi III DPR mengungkapkan rencananya untuk membebaskan 30.000 napi, termasuk koruptor untuk pencegahan virus corona. Namun, rencana tersebut terhalang PP 99 tahun 2012.
“Jokowi perlu evaluasi Yasona, jika perlu instruksikan Yasona untuk batalkan perubahan PP 99 tahun 2012 tersebut,” ujarnya. (ASF)