Indonesiainside.id, Jakarta – Koordinator KontraS, Yanti Andriyani, mengaku tak heran dengan sejumlah kejanggalan dalam persidangan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Persidangan yang digelar pada 30 April dan menghadirkan Novel untuk memberikan keterangan sebagai korban dinilai hanya mengungkap pelaku lapangan.
“Tidak heran kalau di persidangan terjadi banyak kejanggalan. Kejanggalan dalam Proses Persidangan tidak terlepas dari proses penyelidikan yang penuh dengan konflik kepentingan,” ucap Yanti dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (18/5).
Yanti yang juga sebagai kuasa hukum Novel Baswedan mengaku sejak awal mengingatkan agar penyidikan kasus tersebut ditangani oleh tim independen. Ini karena kasus itu tak lagi menjadi kasus individu, tapi sudah berkaitan dengan kinerja KPK dalam memerangi korupsi di Tanah Air.
“Situasi konflik kepentingan yang menghalangi kasus ini sangat jelas dampaknya hari ini. Di persidangan pun kita tidak bisa berharap banyak. Sejak awal memang persidangan di kondisikan hanya mengungkap pelaku lapangan, hanya mengungkap hal hal yang terkait dengan peristiwa,” ucap dia.
Sementara, anggota Kuasa Hukum Novel Baswedan, Arif Maulana, membeberkan 9 kejanggalan persidangan kasus penyerangan Novel Baswedan. Pertama, dakwaan jaksa skenario menutup pengungkapan aktor intelektual dan hukum ringan pelaku.
Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa. JPU tidak mengaitkan kasus itu dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi dan teror sistematis pelemahan KPK yang selama ini terus diterima oleh para penyidik lembaga antikorupsi itu.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan bahwa motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya. Dalam dakwaan JPU tidak terdapat fakta atau informasi siapa yang menyuruh melakukan tindak pidana penyiraman air keras terhadap novel baswedan.
“Patut diduga Jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan. Hal ini bertentangan dengan temuan dari Komnas HAM dan Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyebutkan bahwa ada aktor intektual dibalik kasus Novel Baswedan,” kata Arif.
Kedua, JPU tidak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban, namun malah membela kepentingan para terdakwa. Temuan itu sudah jauh-jauh hari disampaikan saat agenda persidangan memasuki pembacaan surat dakwaan.
Dalam berkas tersebut Jaksa hanya mendakwa dua penyiram wajah Novel dengan Pasal penganiyaan biasa. Padahal perbuatan pelaku dapat mengancam nyawa Novel. Selain itu, dalam dakwaan disebutkan bahwa air yang digunakan untuk menyiram wajah Novel berasal dari aki. Tentu ini pernyataan sesat, sebab sudah terang benderang bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel kehilangan penglihatan.
Dalam persidangan yang dihadiri Novel, pertanyaan Jaksa terlihat tidak memiliki arah yang jelas. Anehnya, meski telah disebut saksi korban nama dan informasi penting mengenai kemungkinan keterlibatan aktor lain, jaksa tidak menggali lebih lanjut.
Ketiga, Majelis hakim terlihat pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiil. Hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, khususnya fakta-fakta sebelum penyerangan terjadi untuk membuktikan bahwa serangan dilakukan secara sistematis, terorganisir, tidak hanya melibatkan pelaku pada saat penyerangan terjadi.
Hal itu dibuktikan dalam persidangan pemeriksaan Novel Hakim cenderung terbatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian 11 April oleh pelaku penyerangan, dampak penyerangan, namun tidak menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan.
Keempat, para terdakwa pelaku Kejahatan Anggota Polri aktif didampingi Kuasa hukum Polri. Padahal, kejahatan yang disangkakan kepada dua orang terdakwa itu merupakan merupakan kejahatan yang mencoreng dengan Institusi kepolisian dan bertentangan dengan tugas dan kewajiban Polisi dalam UU Kepolisian.
Jadi, saat para terdakwa dibela oleh institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. Pembelaan oleh Institusi Kepolisian menghambat proses hukum untuk membongkar kasus tersebut, sebab diduga melibatkan anggota Polri dan petinggi kepolisian.
“Terdapat Konflik Kepentingan yang nyata yang akan menutup peluang membongkar kasus ini secara terang benderang dan menangkap pelaku sebenarnya, bukan hanya pelaku lapangan namun juga otak pelaku kejahatan,” ucap Arif.
Kelima, ada dugaan manipulasi barang bukti di persidangan. Mulai dari cctv yang dianggap penting namun dihiraukan oleh penyidik sampai pada dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting. Tak hanya itu, sidik jari pun tidak mampu diindentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel.
Keenam, jaksa mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk penyiraman. Meski dampak penyerangan air keras mengakibatkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan. Jaksa justru mengarahkan dakwaan bahwa air yang mengakibatkan kebutaan Novel Baswedan bukan air keras.
Ketujuh, kasus kriminalisasi Novel kembali diangkat untuk mengaburkan fokus pengungkapan Kasus penyerangan NB dan KPK. Selama proses peradilan berjalan terdapat pergerakan yang diinstruksikan oknum tertentu untuk kembali memojokkan Novel dalam kasus pencurian sarang burung wallet di Bengkulu.
Kedelapan, dihilangkannya alat bukti saksi dalam berkas persidangan. JPU menghilangkan saksi kunci penyerangan Novel Baswedan yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri, berkas BAP-nya. Selain itu, saksi-saksi penting dan relevan dari pihak korban yang tidak dihadirkan JPU.
Kesembilan, dalam pemeriksaan saksi korban di pengadilan, ruang pengadilan dipenuhi oleh aparat kepolisian dan orang-orang yang nampak dikoordinasikan untuk menguasai ruang persidangan.
Arif mengungkapkan, bangku pengunjung yang mestinya dapat digunakan secara bergantian oleh seluruh pengunjung, ‘dikuasai’ oleh orang-orang yang tertentu sehingga publik maupun kuasa hukum dan media yang meliput tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan.(PS)