Indonesiainside.id, Jakarta – Tuntuan kasus penyiraman air keras ke wajah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan terus mendapat sorotan. Kali ini datang dari Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Peneliti Pukat Korupsi UGM, Agung Nugroho, menyebut tuntutan Jaksa kepada Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis dengan satu tahun penjara dinilai sangat janggal. Tuntutan itu dirasa tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
“Ini dapat berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi,” ujar Agung dalam pernyataan persnya dikutip Selasa (16/6).
PUKAT FH UGM menyimpulkan bahwa tuntutan yang diajukan oleh Jaksa sedikitnya mengandung lima permasalahan. Terutama terhadap pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meyebut bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu atau tidak sengaja.
“Pemahaman hukum pidana seperti itu keliru,” kata Agung.
Dia menjelaskan, mengenai unsur rencana terlebih dahulu setidaknya mengandung tiga unsur, di antaranya, memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.
“Dalam kasus a quo (tersebut) , terdakwa telah memenuhi tiga unsur di atas. Terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman,” tegas Agung.
Pada sisi lain, JPU juga dinilai telah salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan. Tindakan terdakwa, kata Agung, tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai maksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan.
“Jadi, meskipun terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, namun tindakan penyiraman dilakukan pada kondisi gelap sehingga ada kemungkinan mengenai bagian tubuh yang lain yaitu bagian mata Novel,” paparnya.
Kesalahan kedua, Pasal yang dikenakan kepada terdakwa hanya penganiayaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP, meskipun tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat. JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP.
Ketiga, Jaksa yang seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materiil dan keadilan justru memilih lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti. Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar.
Selain itu, lanjut Agung, Jaksa justru mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta maupun Komnas HAM.
Keempat, tuntutan dianggap tidak logis dan mencedarai keadilan. Dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsidair, Jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara. Namun, Jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun.
“Hal ini tentu saja mencederai keadilan sebab bertentangan dengan adagium hukum restitution in integrum dimana hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat,” tuturnya.
Kelima, tidak diungkapnya aktor intelektual dan motif dalam kasus tersebut. Terdakwa menyatakan bahwa tindakannya dilandasi rasa tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.
“Motif tersebut tidak kuat sebab terdakwa tidak ada hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel. Di sisi lain, Novel juga tidak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa,” paparnya.
Dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel Baswedan sebagai penyidik KPK yang menangani kasus- kasus besar. Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel. Meskipun begitu, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan.