Indonesiainside.id, Jakarta – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal, mengingatkan, perihal salah satu bab investasi dan proyek strategis nasional dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang secara gamblang memperlihatkan bagaimana praktik korupsi bisa terjadi.
Agil membeberkan beberapa alasan peluang praktik korupsi bisa terjadi dalam bab investasi RUU Ciptaker. Pertama, ketentuan itu menyebutkan bahwa investasi pemerintah pusat dilakukan untuk meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian guna mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja.
“Investasi tersebut dilakukan oleh suatu lembaga pengelola investasi yang bertanggung jawab kepada presiden melalui dewan pengarah yang terdiri atas Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara. Dana investasi yang dikelola lembaga ini dapat bersumber dari aset negara dan badan usaha milik negara (BUMN). Artinya, menggunakan uang negara,” kata Agil kepada Indonesiainside.id, Jakarta, Kamis (25/6).
Namun, kata dia, ketentuan berikutnya menyebutkan aset negara dan aset BUMN yang dijadikan investasi tersebut dipindahtangankan menjadi aset lembaga, yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab lembaga. Bahkan ketentuan setelahnya menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami lembaga ketika melaksanakan investasi merupakan keuntungan atau kerugian lembaga.
Ketentuan itu secara terang-terangan menyatakan kerugian yang dialami negara saat berinvestasi, baik disengaja maupun tidak, termasuk tindakan memperkaya orang lain, tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian negara. Esensi utama dari korupsi yang selama ini menjadi konsensus adalah tindakan yang merugikan keuangan negara, tapi unsur itu dihilangkan dalam rancangan ini.
Kedua, status penyelenggara negara pada pengurus dan pegawai di lembaga pengelola investasi dihilangkan, kecuali bagi mereka yang berasal dari pejabat negara atau ex officio. Agil menilai logika seperti ini sangat keliru. Mereka adalah orang yang diberi kewenangan untuk memegang dan memutar uang negara sekaligus menerima gaji dari negara, sehingga sudah sepatutnya disebut sebagai penyelenggara negara.
“Pasal ini jelas bertujuan menghindar dari jerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menempatkan penyelenggara negara sebagai subyek tindak pidana korupsi yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana,” ucap dia. (SD)