Indonesiainside.id, Jakarta – Putusan Penyerang Novel Baswedan dijadwalkan berlangsung besok, Kamis (16/7) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tim Advokasi Novel Baswedan mengungkapkan banyak kejanggalan yang masih menyelimuti kebenaran kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK itu.
“Kami mengecam keras proses persidangan yang ditengarai memiliki banyak kejanggalan. Bahkan proses persidangan ini dapat dikatakan sedang menuju ke arah peradilan sesat,” ujar Fatia Maulidiyanti, salah satu perwakilan tim advokasi, Rabu (15/7).
Sejatinya, kata dia, proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil. Namun hal yang terlihat justru sebaliknya.
Persidangan kali ini dinilai hanya untuk membenarkan seluruh dalil dan dalih yang disampaikan oleh para terdakwa dengan skenario besar menyembunyikan pelaku sebenarnya atau setidaknya aktor intelektual. Adapun kejanggalan yang dimaksud sebagai, yakni saksi-saksi yang dianggap penting dalam upaya untuk mengungkap kejahatan terorganisir ini tidak dimintai keterangan di muka persidangan.
Kedua, barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara tidak ditunjukkan dalam proses persidangan. Kemudian, Jaksa yang harusnya menjadi representasi kepentingan korban, dinilai terlihat berpihak pada pelaku kejahatan.
“Kesimpulan ini dapat diambil pada saat proses pemeriksaan saksi korban, Novel Baswedan. Pertanyaan yang diutarakan oleh Jaksa terkesan menyudutkan Novel. Bahkan tuntutan Jaksa juga mengikis rasa keadilan korban itu sendiri,” katanya.
Keempat, Kejaksaan dalam mendakwa dan menuntut dipandang tidak bertindak atas nama individu melainkan kelembagaan. Pemilihan penuntut umum dan rencana penuntutan (rentut) dilihat sebagai tindakan kelembagaan.
“Oleh karena itu segala tindakan penuntutan di persidangan termasuk menuntut rendah dan lebih bersikap sebagai pembela terdakwa adalah perintah kelembagaan,” imbuhnya.
Kejanggalan kelima, pendampingan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap dua terdakwa dirasakan kental dengan nuansa konflik kepentingan. Sebab, kata Fati, Ketua Tim Pendampingan Hukum para terdakwa sebelumnya merupakan pihak yang juga menyelidiki kasus ini dan tidak berhasil mengungkap kasusnya.
“Pendampingan hukum langsung dari Polri menurut peraturan perundang-undangan adalah apabila menjadi tersangka karena menjalankan tugas. Apakah terdakwa saat menyiram Novel menjalankan tugas Polri?,” tanya Fatia.
Ketujuh, dalam fakta persidangan terungkap kedua terdakwa berdasarkan duplik yang dibacakan, tidak pernah ditangkap melainkan menyerahkan diri. Hal ini berbeda dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Argo Yuwono yang menyatakan kedua terdakwa ditangkap.
Kejanggalan berikutnya yakni terdapat saksi yang meragukan bahwa kedua terdakwa merupakan kedua orang yang ia lihat sesaat sebelum melakukan penyirman air keras. Sebab, lanjut Fatia, saat diperhatikan ketika dikonfrontir di Mabes Polri dari gestur gerak tubuhnya tidak sama atau berbeda.
Indikasi keterlibatan pelaku lebih dari 2 orang tampak dari kesaksian para saksi di persidangan yang mengungkapkan bahwa satu bulan hingga satu pekan sebelum kejadian terdapat orang-orang yang melakukan pengintaian di sekitar lingkungan rumah Novel Baswedan.
“Bahwa Setelah 2 tahun lebih, pada tahun 2020 terdapat saksi dari labfor yang memeriksa Kembali cairan kimia yang terkandung di beberapa barang bukti dan hasilnya memiliki kadar yang sama pada pemeriksaan cairan kimia tahun 2017,” tutur Fatia menyebut kejanggalan kesepuluh.
Namun, terdapat saksi ahli yang berpendapat adanya kejanggalan, sebab sangat mungkin terjadi ada penurunan besaran konsentrasi kimia yang menempel pada barang bukti dalam jangka waktu sekitar 2 tahun lebih.
“Kemudian ahli juga berpendapat ada keanehan mengenai berbedanya variasi tingkat konsetrat asam sulfat di barang bukti,” paparnya.
Sebelas, terdakwa leluasa keluar masuk dari asrama. Padahal, menurtnya, seharusnya terdakwa mendapatkan izin terlebih dahulu dari atasan hukum terdakwa. “Terlebih lagi hanya ada satu pintu akses di asrama brimob kelapa dua,”. (SD)