Indonesiainside.id, Jakarta – Senator asal DKI Jakarta, Fahira Idris, mempertanyakan urgensi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) harus diatur dalam sebuah undang-undang. Padahal badan tersebut sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.7/2018 tentang BPIP, dan itu sudah cukup.
Dia mengatakan, meski RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi RUU BPIP tapi publik harus tetap mengawal dan mengkritisi RUU tersebut. Meski pemerintah mengklaim subtansi RUU BPIP sebagai pengganti RUU HIP berbeda, namun publik tidak boleh lengah.
“Pertanyaan awal yang perlu kita ajukan adalah apakah perlu badan seperti BPIP diatur khusus dalam sebuah undang-undang? Jika hanya soal tupoksi bukannya sudah diatur dalam perpres,” kata Fahira di Jakarta, Senin (20/7).
Fahira menilai perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP terkesan dipaksakan. Ini karena RUU BPIP hanya memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan BPIP yang sebenarnya payung hukum bisa diatu setingkat perpres. Pembahasan sebuah UU selain memerlukan energi dan waktu yang panjang, juga menghabiskan anggaran. Maka itu, parameter sebuah RUU adalah sejauh mana UU itu dibutuhkan rakyat.
Jika sebuah persoalan, isu, atau pun pengaturan sebuah badan lembaga negara tidak langsung menyentuh hajat hidup orang banyak maka payung hukumnya cukup peraturan di bawah UU, misalnya Perpres, Keppres, atau peraturan lainnya karena lebih efektif dan efesien.
“Makanya harus dikonkretkan dulu sejauh mana strategisnya BPIP terhadap hajat hidup orang banyak, sehingga dia harus diatur dalam sebuah UU. Sejauh mana urgensi lembaga ini sama atau setara dengan KPK atau MK yang memang dipayungi UU Khusus. Jika publik tidak mendapatkan penjelasan yang rasional dan konkret maka penolakan pasti akan terjadi lagi,” ucap dia. (SD)