Indonesiainside.id, Jakarta – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengecam langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan pemdampingan hukum kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jaksa Pinangki ditetapkan sebagai tersangka dan dugaan suap menerima suap sekitar Rp7 miliar dari Djoko Tjandra.
Kurnia menilai, perbuatan Jaksa Pinangki seharusnya dimaknai telah mencoreng nama Kejaksaan Agung. Dengan demikian, Jaksa Pinangki tak berhak mendapat pendampingan hukum. Terlebih lagi, Jaksa Pinangki telah melanggar dua aspek sekaligus, yakni etika dan hukum.
Jaksa Pinangki melanggar etika karena bepergian bertemu Djoko Tjandra tanpa sepengetahuan atasan. Dia melanggar hukum karena disangka telah menerima sejumlah uang dari Djoko Tjandra untuk turut mengurusi perkara di Mahkamah Agung.
Kurnia mengatakan, penyidikan Kejaksaan Agung dikhawatirkan tidak berjalan objektif karena pendampingan hukum berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. “Pendampingan hukum itu dikhawatirkan akan digunakan untuk melindungi Jaksa Pinangki dari jerat hukum,” kata Kurnia di Jakarta, Selasa (18/8).
Menurut Kurnia, pendampingan hukum diduga bertentangan dengan anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) Persatuan Jaksa Indonesia (PJI). Dalam AD/ART itu termaktub tujuan PJI adalah meningkatkan integritas dan profesionalisme jaksa sesuai dengan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak hukum.
“Tentu tindakan yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki tidak terkait dengan tugas dan profesinya sebagai seorang Jaksa, sebab pertemuan yang bersangkutan dilakukan tidak atas dasar persrtujuan dari atasannya dan dilakukan dengan seorang buronan Kejaksaan,” ucap Kurnia.
Kurnia menilai pendampingan hukum tersebut menggambarkan perkara dugaan suap yang melibatkan Pinangki disinyalir terhenti alias tidak akan dikembangkan kepada oknum lain yang kemungkinan terlibat.
“Atas dasar ini, ICW menuntut agar Kejagung segera mencabut keputusan untuk memberikan pendampingan hukum terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari,” ujar dia.(NE)