Indonesiainside.id, Jakarta – Mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, berencana membawa kasus pelanggaran kode etik berat wakil ketua KPK, Lili Pintauli ke jalur pidana.
Hal ini ia sampaikan usai sanksi yang dijatuhkan Dewan Pengawas KPK kepada wakil ketua KPK, Lili Pintauli Siregar yang ia sebut mengecewakan.
“Kita tunggu seminggu dua minggu, respon teman-teman komunitas, kalau nggak ada ya kita tindaklanjuti ke laporan ke penegak hukum,” kata Sujanarko kepada BBC News Indonesia, Selasa (31/08).
Sujanarko adalah salah seorang pelapor dalam kasus pelanggaran etik ini selain Novel Baswedan dan Rizka Anungnata, yang termasuk 50-an pegawai KPK yang dinonaktifkan karena tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Seleksi pegawai yang disebut “pelanggaran HAM berat”.
Ia melaporkan Lili pada Juni 2020 lalu, karena pimpinan KPK itu menjalin komunikasi dengan pihak yang berperkara korupsi, yaitu wali kota nonaktif Tajungbalai, Sumatera Utara, M. Syahrial.
Kasus ini juga menyeret salah satu penyidik KPK Steppanus Robin Pattuju.
Menurut Sujanarko, sanksi hanya berupa potongan gaji dan membiarkan Lili Pintauli tetap memiliki wewenang perjalanan dinas, menentukan tersangka, mengikuti rapat pimpinan sebagai “bahaya banget”.
“Jadi itu kalau tidak dibatasi, gila ini,” kata Sujarnako kepada BBC News Indonesia.
Lili Pintauli Siregar diberi sanksi yang menurut Dewas “berat” berupa pemotongan gaji selama 12 bulan.
Dewan Pengawas memutuskan Lili Pintauli Siregar terbukti secara sah telah menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan pihak lain yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK.
Dalam keterangan kepada pers, Ketua Dewan Pengawas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyerukan agar kasus ini menjadi pengingat elemen di KPK.
“Jadi harapan kami tentunya, setelah ada putusan-putusan seperti begini rekan-rekan insan KPK, baik pimpinan mapun dewas, maupun seluruh insan KPK yang ada itu, jangan melakukan perbuatan seperti ini lagi,” katanya.
Namun, pegiat antikorupsi dari PUKAT-UGM, Zaenur Rohman menilai putusan ini “sangat lembek”.
Kata dia, perbuatan ini tidak hanya melanggar kode etik, tetapi mengarah pidana.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU 30/2002 jo UU 19/2019 tentang KPK. Pasal ini melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak berperkara dengan alasan apapun. Menurut Pasal 65 UU KPK, pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam pidana maksimal 5 tahun penjara,” kata Zaenur.
Zaenur menambahkan, pelanggaran Lili Pintauli menemui pihak berperkara korupsi, wali kota Tanjungbalai nonaktif, M. Syahrial perlu mendapat sanksi lebih berat.
Kata dia, “itu dapat menjadi pintu masuk jual-beli putusan, jual-beli perkara, jual-beli informasi dan bisa juga menjadi pintu masuk pemerasan oleh insan KPK”.
“Harusnya divonis keras oleh Dewas untuk pengunduran diri, sekaligus diproses secara pidana oleh KPK,” kata Zaenur.
Dalam pesan singkat kepada BBC News Indonesia, Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, “dalam aturan yang ada, tidak ada aturannya dalam putusan etik Majelis untuk merekomendasikan hal sedemikian.”
Sementara itu, peneliti dari Transparency International Indonesia (TI Indonesia), Alvin Nicola mengatakan persepsi korupsi Indonesia terancam terjun bebas di masa mendatang.
“Dalam rangkaian yang terjadi satu tahun ke belakang, mungkin ada kemungkinan yang lebih besar untuk kita, artinya nilai kita akan semakin terjun bebas,” kata Alvin kepada BBC News Indonesia.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2020 turun menjadi 37 dari tahun sebelumnya yaitu 40. Skala mendekati 0 sangat korup, dan 100 bersih dari korupsi.
(BBC/Nto)