Oleh: Andryanto S |
Belum hilang dari ingatan kita tentang kehebohan berbagai impor pangan yang terjadi belakangan ini. Sebut saja, impor gula, beras, dan jagung. Kehebohan disertai intrik silang pendapat antara para pejabat teras negeri ini.
Indonesiainside.id, Jakarta — Demikianlah kondisi nyata negeri ini ketika belum mampu mencapai titik swasembada, maka konsekuensinya impor menjadi alternative terakhir. Tapi jangan salah, sampai kapan pun kebijakan impor pasti menuai polemik. Dari mulai sisi mematikan petani, mengundang pemburu rente (rent seeker), hingga dikaitkan dengan amunisi pemilihan umum.
Bagaimanapun, pangan memang komoditas strategis bagi sebuah negara. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Negara yang tak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sangat rentan terhadap gejolak, baik gejolak harga hingga tergantung pada pasokan Negara lain. Dengan kata lain, kedaulatan Negara sebenarnya dalam konteks praktis bertumpu pada swasembada pangan.
Jika krisis pangan terjadi, stabilitas negara akan terganggu. Apalagi bagi Indonesia dengan penduduk terbesar keempat di dunia, komoditas pangan berperan sentral dalam pembangunan ekonomi secara fundamental.
Jadi tidak heran jika setiap kali tersiar kabar tentang impor komoditas pangan, publik akan heboh. Sudah menjadi rahasia umum, pangan menjadi magnet perhatian publik karena memang dampaknya yang luas. Dari mulai pegawai kantoran, ibu rumah tangga, hingga asisten rumah tangga pasti mengomentari berita tentang pangan. Karena itu, sudah selayaknya pemerintah yang berkuasa harus memprioritaskan komoditas pangan.
Dalam perkembangan dunia yang begitu dinamis, tidak ada salahnya jika pemerintah yang berkuasa berkaca pada sejarah tentang keberhasilan negeri ini mengubah posisi net importer beras menjadi pengekspor beras terbesar. Adalah medali From Rice Importer To Self Sufficiency dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1984 yang diterima Presiden kedua Soeharto menjadi tonggak bersejarah negeri ini.
Terlepas dari sisi politis, strategi pembangunan sektor pertanian pada masa Pak Harto memang berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara swa sembada beras. Dan hal itu diakui dunia melalui FAO.
“Posisi Indonesia berubah dari pengimpor beras menjadi pengekspor beras terbesar. Ini prestasi membanggakan yang bisa jadi sumber pembelajaran generasi sekarang,” kata Rektor Universitas Trilogi Asep Saefuddin, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, keberhasilan pembangunan sektor pertanian tersebut tidak lepas dari perencanaan yang sangat matang yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam pembangunan pertanian dimulai dengan tahapan membangun infrastruktur, hingga memanfaatkan teknologi dan inovasi dari perguruan tinggi. Hasilnya beberapa komoditas pangan seperti beras, jagung, sayuran dan buah-buahan meningkat cukup signifikan.
Di sisi lain, untuk meningkatkan keterlibatan para petani, pemerintah juga mengintensifkan pembinaan seperti program bimbingan masal (BIMAS), intensifikasi massal (INMAS), intensifikasi umum (INMUM), serta intensifikasi khusus (INSUS). “Pertanian yang tangguh tentu membutuhkan dukungan penuh pemerintah. Tak terkecuali untuk kondisi sekarang,” lanjut Asep.

Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai soko guru perekonomian di tingkat pedesaan, perlu diperkuat terus keberadaannya. Juga PT PUSRI sebagai pemasok pupuk bagi petani, Bulog yang bertugas mengintegrasikan pasar beras dan menjaga stabilitas harga termasuk peran perusahaan swasta lainnya.
Secara fair, Asep menilai, keberhasilan pembangunan pertanian pada era Orde Baru tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Kesemuanya itu bisa dijadikan referensi berharga bagi para stakeholder di sektor pertanian untuk membangun sektor pertanian di masa sekarang dan yang akan datang.
Memang swasembada pangan menjadi peninggalan (legacy) Pak Harto yang akan terus dikenang bangsa ini. Satu strategi yang digagas Pak Harto untuk memajukan sector pertanian kala itu adalah Revolusi hijau adalah cara bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Munculnya Revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menggalakan revolusi hijau, diantaranya adalah dengan upaya intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, dan rehabilitasi pertanian.
Hasil positif pun dicapai dari kebijakan Revolusi Hijau, yaitu sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang beralih usaha ke sektor agrobisnis. Bahkan Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1984.
Kebijakan Revolusi Hijau pun menimbulkan dampak bagi kehidupan masyarakat, terutama kaum petani. Pemerintah Orde Baru yang menjalankan kebijakan Revolusi Hijau itu dengan cara membimbing para petani menjalankan pertanian sesuai dengan kehendak pemerintah justru menjadikan petani menjadi tidak kreatif. Selain itu kepemilikan tanah berubah dari kepemilikan komunal menjadi kepemilikan individu akibat karena perkembangan teknologi baru dan meningkatnya jumlah penduduk sehingga nilai tanah semakin tinggi.
Ketimpangan kepemilikan tanah juga berpengaruh terhadap nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat yang ditandai dengan merenggangnya hubungan patron-client dalam masyarakat desa. Walaupun terdapat dampak sosial yang kurang baik, Revolusi Hijau justru berdampak baik bagi perekonomian dengan meningkatnya pendapatan perkapita dan Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan sehingga menjadi negara pengekspor beras. (*/Dry)