Indonesiainside.id, Jakarta – Ombudsman meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk secepatnya membangun gedung sekolah yang kurang untuk menjalankan kebijakan zonasi dan melengkapi fasilitas sekolah, seperti komputer untuk daerah terpencil dan desa.
“Jangan hanya sibuk pendidikan digital saja,” ujar Anggota Ombudsman, Ahmad Su’ad, di Jakarta, pada Rabu (23/10).
Ombudsman mendapati keluhan dari masyarakat, soal kebijakan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi. Menurut Ahmad Su’adi, tiap tahun selalu masuk keluhan masyarakat mengenai sistem zonasi.
Ahmad Su’adi menambahkan, tidak hanya sistem zonasi. Masyarakat mengeluh dengan kebijakan pemerintah yang memaksa siswa untuk melakukan ujian nasional menggunakan komputer, pada siswa yang sekolahnya belum punya fasilitas komputer atau didaerah terpencil yang belum ada jaringan internet sehingga siswa dari daerah terpencil harus menumpang ke sekolah lain untuk melaksanakan ujian nasional.
Sementara itu, Emil Salim selaku ahli ekonomi dan Mantan Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada zaman Orde Baru, mengatakan pendapatan negara, terutama pendapatan negara yang surplus, harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dirasakan langsung oleh banyak masyarakat. “Bukan hanya asal bangun infratruktur saja,” paparnya.
Emil Salim memberi contoh bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan surplus dari kenaikan neraca minyak bumi yang terjadi pada tahun 70-an untuk pembangunan sekolah-sekolah di desa dan daerah tertinggal. Menurut dia, Presiden Soeharto pada waktu itu langsung terjun ke lapangan dan Presiden Soeharto mengatakan harus membangun sekolah-sekolah itu supaya terjadi pemerataan pada masyarakat, terutama pemerataan pendidikan sekolah dasar di Indonesia.
“Masyarakat tahu mereka harus sekolah tetapi pada waktu itu belum ada gedung sekolah. Saat gedung-gedung sekolah selesai dibangun, dinamika semangat untuk sekolah tinggi dan tercapailah pemerataan,” ujar Emil Salim.
Pembangunan sekolah di era Orde Baru menjadi salah satu topik penelitian yang membawa tiga ekonom asal Amerika Serikat (AS) meraih Nobel Ekonomi. Penghargaan prestisius dunia di bidang ekonomi untuk tahun 2019 ternyata diberikan pada penelitian yang mengambil tempat di Indonesia. Adalah tiga ekonom asal Amerika Serikat (AS), yakni Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer, yang menyabet Nobel Ekonomi dengan penelitian bertajuk “schooling and labor market consequences of school construction in Indonesia: evidence from an unusual policy experiment”.
Penelitian ketiga ekonom itu diterbitkan pada Agustus 2000, menyoroti isu yang lebih spesifik seputar edukasi masyarakat miskin. Tempat penelitian itu di Indonesia, dengan meneliti kebijakan Sekolah Dasar (SD) inpres yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia di era 1973 hingga 1978.
Dalam abstraksi hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia tahun 1973 dan 1978 ketika pemerintah Orde Baru membangun lebih dari 61.000 SD.
Penelitian tersebut mengevaluasi dampak dari program ini pada pendidikan dan upah. Caranya, dengan menggabungkan perbedaan antar daerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antar kelompok yang disebabkan oleh waktu program.
Dalam penelitian tersebut, Esther Duflo (46 tahun)–penerima termuda sekaligus perempuan kedua yang dianugerahi Hadiah Nobel ekonomi—menjelaskan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Dengan menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental, dikaitkan dengan dampak pendidikan pada upah, profesor di Massachusetts Institute of Technology ini memperoleh kesimpulan bahwa kebijakan SD Inpres ini sukses ‘meningkatkan’ perekonomian. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8 persen hingga 10,6 persen.(*/dry)