Indonesiainside.id, Sydney – Kalian ketakutan ujian SMA? takut tidak lulus? Hal ini juga dialami pelajar lain di berbagai belahan dunia. Salah satunya dialami Seve Practico, pelajar Australia. Sebelas tahun lalu dia sangat stress ketika hendak ujian akhir di sebuah sekolah swasta terkenal di Perth.
“Saya kira tekanan terhadap diri sendiri begitu besar, karena sekolah saya merupakan sekolah swasta terkenal dan mahal,” katanya dikutip ABC News, Kamis(21/11).
Di negara seperti Australia, menamatkan pendidikan hingga Kelas 12 (setingkat SMA) sudah merupakan keharusan sebagai bekal untuk bekerja nantinya. Ijazah SMA dinilai sertifikat terendah yang bisa didapatkan dan tanpa hal tersebut diperkirakan masa depan mereka akan suram.
Ijazah SMA di Australia dikenal dengan nilai ATAR yang kemudian digunakan untuk masuk ke universitas. Pada bulan November dan Desember ini jutaan pelajar SMA baru saja selesai ujian dan sedang menunggu pengumuman nilai ATAR mereka.
Bagi sebagian orang, tidak tamat SMA bukan berarti mereka tidak bisa memiliki karir atau bisnis yang memberi penghasilan bagus.
Seve Practico akhirnya tidak menyelesaikan ujian akhirnya. Untungnya orangtuanya bahkan mendukung keputusan tersebut.
“Orangtua melihat keadaan saya, stress dan cemas karena menghadapi ujian. Mereka mendukung 100 persen keputusan saya untuk berhenti,” kata Practico.
Meski akhirnya tidak tamat SMA, Practico kemudian belajar desain bangunan di sekolah kejuruan dan sekarang sukses membangun bisnis sendiri.
Dia ingin mengingatkan kepada generasi muda lainnya bahwa keberhasilan di tingkat SMA dengan nilai ATAR yang tinggi untuk masuk universitas bukanlah segalanya.
“Hal seperti ini jarang dibicarakan. Apapun yang kita lakukan sama pentingnya, sepanjang kita menyukainya. Ini semua bukan kompetisi.” ujarnya.
Pengalaman lainnya dialami Rachael O’Byrne yang berhenti sekolah sebelum Kelas 12. Baginya, hal itu bukanlah keputusan sulit.
“Sekolahku adalah sekolah swasta putri, dan di Kelas 10 saya sempat sakit parah sehingga berhenti selama beberapa bulan,” kata O’Byrne.
“Ketika kembali ke sekolah nilai saya anjlok dari umumnya A dan B menjadi D dan F.”
“Saat itu, beberapa teman suka ke klub. Saya merasa pergi ke klub sampai jam 4 pagi pada hari Rabu lebih menyenangkan,” tambahnya lagi.
Setelah itu, O’Byrne menjadi karyawan toko, tanpa kualifikasi, dan kemudian banyak bepergian termasuk tinggal di Jepang selama dua tahun mengajar bahasa Inggris dan kerja di bar.
Baru ketika berusia 28 tahun, Rachel merasa bahwa dia memerlukan pekerjaan yang lebih mapan, tidak sekadar menjadi pelayan kafe atau restoran.
Dia akhirnya masuk ke universitas tanpa ijazah SMA untuk belajar psikologi dan bahkan menyelesaikan pendidikan S2. Kini dia bekerja sebagai psikolog klinis.
Menurutnya, banyak generasi muda yang belum mengetahui apa yang mereka inginkan sampai mereka berusia 22 tahun.
“Memang beberapa siswa sudah tahu apa yang mereka inginkan,” katanya.
“Namun ada juga yang butuh waktu lebih lama untuk menemukan apa yang mereka inginkan. Itu bukan satu kesalahan,” kata O’Byrne.
Beberapa orang lain di Perth mengatakan bahwa lulus SMA dan lanjut kuliah untuk jadi sarjana beberapa tahun kemudian bukan satu-satunya jalan kesuksesan.
“Saya sekarang berusia 25 tahun, pernah belajar di SMA top di Perth. Saya pernah kuliah dan sangat stres dengan kemungkinan hasil ATAR. Saya kemudian langsung kerja,” kata George.
“Apa yang saya pelajari setahun kerja lebih banyak dari yang dipelajari 4 tahun di kampus. Saya bekerja di layanan darurat dan sangat puas dengan pekerjaan saya,” katanya.
Warga lainnya bernama Shelley mengatakan dia berhenti sekolah pada umur 15 tahun.
“Namun saya tamat di usia 30 untuk menjadi guru sekolah menengah. Jadi sekarang saya mengajar anak-anak seperti yang pernah saya rasakan dulu,” katanya.
Sementara Justin mengatakan dia tidak menamatkan pendidikan hingga Kelas 9.
“Tapi sekarang saya sedang menyelesaikan PhD. Saya baru kembali ke sekolah di usia 27 tahun,” katanya.
Di Indonesia contoh orang sukses yang tidak sampai lulus SMA salah satunya adalah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Meski tak lulus SMA, Susi berhasil mandiri dengan bekerja keras membangun usaha sendiri mulai dari jualan bed cover, ikan, hingga sewa pesawat.
Sempat mengenyam SMA 1 di Yogyakarta sampai kelas 2. Susi kemudian putus sekolah, namun ini tak membuatnya rendah diri. Susi justru termotivasi untuk mandiri. Pada usia 18 tahun, Susi belajar berdagang. Dia berjualan bed cover keliling Pangandaran.
Tak hanya itu, ia juga menjadi pengepul ikan di Pangandaran. Modal bisnisnya diperoleh dari menjual perhiasannya terkumpul sebesar Rp750.000.
Pada usia 20 tahun, Susi mengambil keputusan nekat dengan pindah ke Cirebon. Ia pergi ke kota udang untuk mengembangkan bisnisnya sebagai pengepul ikan. Setelah menekuni selama 13 tahun atau dalam usia 31 tahun, Susi mendirikan pabrik pengolahan ikan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan andalan produk udang lobster dengan merek “Susi Brand”.
Susi juga mendirikan PT ASI Pudjiastuti Aviation dalam bidang penyewaan pesawat. Kini Susi Air nama maskapai itu memiliki sekitar 50 pesawat terbang beragam jenis dan mempekerjakan 175 pilot asing dari 180 pilot yang ada.
Hebat bukan?
Namun, bukan berarti pendidikan SMA tidak penting, tapi sangat penting meraih pendidikan setinggi-tingginya. Hanya saja bagi kalian yang kurang beruntung, putus SMA bukan akhir dari segalanya. (EP)