Indonesiainside.id, Jakarta – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dahsyat pada musim panas lalu di Australia menghasilkan karbon dioksida yang meracuni Bumi. Jumlah karbondioksida ini lebih banyak dibanding karbondioksida yang dihasilkan negara tersebut setahun sebelumnya.
Melansir pemberitaan dari The Guardian baru-baru ini, laporan pemerintah federal Australia mengenai dampak lingkungan dari karhutla “Black Summer”, yang telah menewaskan lebih dari 30 orang serta menghancurkan ribuan rumah dan bisnis membenarkan dampak lingkungan tersebut.
Menurut laporan tersebut, kebakaran itu menghasilkan 830 juta ton karbon dioksida (CO2), 47 persen lebih tinggi dibanding 561 juta ton CO2 yang dihasilkan Australia dalam kurun 12 bulan sebelum Maret 2019, kutip Xinhua, Kamis(23/4).
Kebakaran yang melanda sejak September 2019 hingga Februari 2020 itu menimbulkan kerusakan dalam skala yang belum pernah terlihat sebelumnya di kawasan Australia. Kawasan yang hangus terbakar sekitar 50 persen lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak 1850.
Laporan itu mengungkapkan bahwa sekitar 3,14 juta hektare kawasan yang terbakar berada di sejumlah area taman nasional, sementara 3,6 juta hektare lainnya berada di dalam kawasan hutan alami yang dijadikan lahan penebangan serta “area konservasi dan lingkungan alam lainnya.”
Meski demikian, laporan itu menyebut bahwa kawasan hutan itu diprediksi akan mengalami pemulihan.
“Pihak Departemen akan secara aktif mengawasi pemulihan hutan dari kebakaran demi memastikan agar setiap gangguan yang diakibatkan oleh manusia nantinya, seperti praktik penebangan pohon di kawasan hutan rusak (salvage logging), gangguan kebakaran di masa mendatang, dan dampak perubahan iklim, akan diperhitungkan,” papar laporan itu.
Laporan tersebut tidak memperhitungkan dampak karhutla terhadap ratusan spesies yang ada.
Sebuah analisis terpisah yang dirilis oleh pemerintah Australia pada Februari lalu menemukan bahwa sebanyak 113 spesies membutuhkan perhatian serius dan segera usai kebakaran terjadi. (EP)