Indonesiainside.id, Jakarta – Sosiolog Arief Budiman wafat pada Kamis (23/4) di Salatiga, Jawa Tengah di usia 79 tahun. Pria yang sewaktu lahir diberi nama Soe Hok Djin oleh orang tuanya itu, dikenal luas sebagai aktivis angkatan 1966 yang vokal melontarkan kritik keras bersama adiknya, Soe Hok Gie, di era kekuasaan Soekarno.
Dia adalah sosok sosialis kritis yang turut menggalang kekuatan politik untuk meruntuhkan Orde Lama dan membangun Orde Baru. Arief aktif bergabung dalam gerakan massa menentang ketidakadilan dan kebijakan penguasa yang dianggap tak senapas dengan perjuangan untuk kesejahteraan rakyat.
Arief muda membangun karier aktivisnya sejak belajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dia tumbuh besar dalam lingkungan pergolakan pemikiran, di antaranya bersama Goenawan Mohamad dan Nono Anwar Makarim (ayah dari Mendikbud Nadiem Makarim).
Setelah Orde Lama runtuh pun, jiwa kritisnya tak pudar. Dia pernah memimpin demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini—yang kala itu dianggap menghamburkan anggaran negara yang berujung penahanannya pada 1970.
Setahun setelahnya, Arief mengampanyekan gerakan golongan putih atau golput pada pemilihan umum (pemilu) yang pertama kali digelar pemerintah Orde Baru. Goenawan Mohamad pernah menulis di kolom di Tempo mengenai sepak terjangnya itu dalam artikel berjudul “Teater Arief Budiman”.
Jejak intelektual Arief dimulai ketika dia belajar di College d’Europe, Brugge, Belgia selama satu semester pada 1964. Empat tahun kemudian, dia menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi UI dengan mengkaji psikologi penyair modern Indonesia, Chairil Anwar.
Kelak, skripsinya itu dibukukan dengan judul Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (1976). Dia juga mendalami pengetahuan di Paris (1972), dan meraih PhD dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, AS (1980).
Ayah dua anak itu adalah seorang Katolik sebelum masuk Islam dan menikahi kekasihnya pada 1968, Sitti Leila Chairani. Leila seorang gadis Minangkabau, berasal dari keluarga muslim yang taat dari pasangan Siti Fatimatul Zahra dan Sutan Pangeran Baharsyah.
Pada awalnya, orang tua Leila tak setuju anak gadisnya menjalin cinta dengan seorang Hok Djin yang—dalam kamus tren jaman now disebut—double minority alias minoritas ganda: Tionghoa dan nonmuslim. Namun, lelaki itu tak lantas patah arang untuk mempertahankan cintanya.
Orang tua Leila akhirnya mengajukan dua syarat kepada Hok Djin jika tetap ingin mempersunting putri mereka: lulus kuliah di UI dan menjadi Muslim. Kedua syarat itu pun disanggupi Hok Djin. Bahkan, lelaki itu sampai rela menanggalkan identitas Tionghoa yang dibawanya sejak lahir: mengganti nama dengan dua kata yang dianggap “lebih Indonesia”.
“Jadi dapat dibayangkan betapa sukarnya saya menikah dengan Arief Budiman, teman kuliah yang berasal dari keluarga Tionghoa, yang jelas berasal dari latar keluarga yang sangat berbeda,” kisah Leila dikutip abc.net.au.
Arief Budiman adalah nama kedua yang dipilihkan Leila. Mulanya, ia menyarankan agar Hok Djin diganti dengan Satya Mitra yang berarti Pendamping yang Setia. Nama pertama itu sempat digunakan Hok Djin saat menulis artikel untuk koran Indonesia Raya.
“Kemudian saya pikir belum tentu ia setia terus. Saya pun bertanya nama Hok Djin itu artinya apa? Dia bilang bijaksana. Jadi saya pilihkan nama Arief Budiman,” kata Leila. Nama itulah yang kemudian disandangnya sampai menghadap Sang Pencipta.
Arief menjadi pengkritik penguasa yang paling kencang selepas adiknya, Soe Hok Gie, meninggal dunia pada 1969 di puncak Gunung Semeru. Napas perjuangan Gie diteruskan sang kakak di jalur pemikiran dan politik. Dia lihai mengemas kritik-kritik sosial dan politik nan bernas dalam bentuk karangan berupa esai dan sastra.
Cara tersebut diakui Arief karena pengaruh dari adiknya. Dia menilai, gerakan rakyat membutuhkan motor dan ikon seperti Gie. Kendati demikian, jauh sebelum itu, Arief juga telah lebih dulu memiliki konsentrasi di bidang politik dan kebudayaan.
Pada 1963, ia bersama sejumlah sastrawan seperti Taufiq Ismail dan kawannya, Goenawan Mohamad, ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) sebagai bentuk protes kepada Presiden Soekarno dan menentang Lekra menjadi alat politik.
“Manifes Kebudayaan itu mempersilakan seniman menyuarakan kepentingan proletar, tapi tak boleh menafikan keindahan. Kalau mau nyeni, ya harus ada esetikanya. Itulah sebabnya saya tetap mengakui beberapa tokoh Lekra yang memiliki kemampuan esetetika tinggi seperti Pram,” katanya dikutip Memoar Tempo berjudul Tukang Protes dari Sawah Besar yang terbit pada 23 Juli 2012.
Arief pernah bergiat dalam penerbitan majalah sastra, Horizon, bersama almarhum HB Jassin dan Mochtar Lubis. Dia menjadi redaktur majalah itu pada 1966 sampai 1972, kemudian menjadi salah seorang anggota dewan penasihat majalah itu selama 20 tahun kemudian.
Esainya, “Manusia dan Seni”, memperoleh hadiah ketiga Majalah Sastra pada 1963. Karyanya yang lain berjudul Pembagian Kerja secara Seksual (1981); Transmigrasi di Indonesia: Ringkasan Tulisan dan Hasil-Hasil Penelitian (1985), dan; Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende (1986).
Salah satu bukunya, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, menjadi salah satu buku bacaan wajib para mahasiswa yang ingin memahami seluk-beluk hegemoni negara-negara maju (terutama Barat) terhadap negara-negara berkembang.
Arief dianggap sebagai tokoh “Metode Ganzheit” sejak Diskusi Sastra 31 Oktober 1968 di Jakarta dan terlibat dalam serangkaian polemik dengan MS Hutagalung sebagai wakil “Aliran Rawamangun”. Dia juga diangkat sebagai tokoh sastra dan kesenian di Solo (Oktober 1984).
Melihat sepak terjangnya itu, Arief Budiman nyaris punya segala-galanya: pemikiran intelektual yang mumpuni; jiwa sastra yang gemilang; idealisme dalam berkarya; semangat perjuangan yang pantang pudar saat melawan ketidakadilan, dan; tentu saja kecintaannya kepada Indonesia. Selamat jalan Hok Djin! (AIJ)