Indonesiainside.id, Jakarta – Kisah cinta Presiden ke-2 Republik Indonesia, H.M. Soeharto dengan Siti Hartinah terjadi di zaman revolusi. Mereka dipertemukan oleh Allah SWT di tengah perjuangan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan 100 persen.
Dalam otobiografi Pak Harto: ucapan, pikiran dan tindakan saya, dijelaskan pertemuannya dengan Ibu Tien tak lepas dari campur tangan Prawirohardjo dan istrinya. Pada 1947, mereka mengunjungi Wuryantoro, Wonogiri sekitar 40 kilometer ke arah tenggara Solo untuk menemui sanak saudaranya. Soeharto yang merupakan keponakan sekaligus anak angkatnya datang menemui mereka.
“Percakapan kami pada mulanya menyangkut hal-hal yang biasa saja. Tetapi tidak lama setelah itu muncul pertanyaan yang tidak saya sangka,” kata Soeharto.
Percakapan tersebut kemudain menjurus ke arah jodoh. Istri Wuryantoro menanyakan kapan Soeharto hendak membangun bahtera rumah tangga. Soeharto kemudian menjawab dirinya terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai komandan resimen di tengah revolusi fisik. Terlebih masih saat itu merupakan masa mencekam bagi Tanah Air.
Tak sampai di situ, Soeharto kemudian terus didesak untuk menikah dan membangun keluarga. Soeharto kemudian mengatakan jika tidak punya calon pendamping hidup.
Saat itu juga, tantenya teringat kepada seorang gadis dari kawan sekolah anaknya di Solo. Gadis itu bernama Hartinah anak dari Soemoharjomo, seorang ningrat yang bekerja sebagai wedana dan pegawai kraton Mangkunegaraan.
“Apa dia akan mau?” kata Soeharto bertanya, “Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat,” imbuhnya.
Tak lama setelah pertemuan itu, Soeharto dan keluarga pamannya berkunjung ke rumah Soemoharjomo di Solo. Soeharto dan Hartinah dipertemukan untuk pertama kalinya. Dalam pertemuan itu pun Soeharto masih belum percaya diri, “apakah dia akan benar-benar suka kepada saya?” kata Soeharto.
Namun nyatanya keluarga Soemoharjomo menerima pinangan Soeharto kepada Hartinah. Tak lama setelah pertemuan itu, pada 26 Desember 1947 pernikahan dilangsungkan. Hartinah berusia 24 tahun dan Soeharto 26 tahun ketika mereka menikah.
“Alhasil, perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, witing tresna jalaran saka kulina”, datangnya cinta karena bergaul dari dekat,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH, dalam Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Kisah cinta Pak Harto dan Ibu Tien sangat rukun bahkan tidak pernah ditimpa gosip. Namun dia tak memungkiri jika cekcok antara suami dan istri merupakan hal yang wajar terjadi.
“Bahwasannya suka terjadi cekcok antara suami dan istri, itu adalah manusiawi,” ungkap Soeharto menjelaskan perjalananan rumahtangga dengan istrinya. (Msh)