Indonesiainside.id, Istanbul- Ikhwanul Muslimin Mesir mengubah arah dalam menentukan masa depan pekerjaan politiknya ketika setuju bekerja sama dengan Mohamad Ali, seorang tokoh oposisi baru dan mantan kontraktor militer.
Langkah ini membentuk titik balik bagi Ikhwan berbeda dengan pendekatannya selama enam tahun terakhir dimana ia dituduh menyebabkan keretakan di antara oposisi Mesir.
Sejak penggulingan Mohamad Morsi, presiden pertama yang terpilih secara demokratis di negara itu yang meninggal Juni lalu, dalam kudeta militer 2013, kelompok itu telah mencari jalan keluar dari terowongan yang gelap.
Pada hari Ahad, Ikhwan menguraikan dukungan untuk dokumen yang diumumkan oleh Ali di mana ia menyerukan untuk menyatukan oposisi untuk menggulingkan Presiden Mesir Abdul-Fattah al-Sisi.
Dengan menerima dokumen Ali, kelompok itu berpegang pada tiga poin, termasuk membentuk aliansi baru karena dokumen itu menyatakan “kerja sama dengan orang-orang setia tanah air” dan menyerukan penyatuan dalam “satu baris” melawan al-Sisi, kutip Anadolu Agency.
Penegasan Ikhwanul Muslimin untuk tidak memimpin, dengan mengatakan pihaknya “berjanji untuk melanjutkan perjuangan dengan orang-orang terhormat” yang berarti tidak berusaha memerintah sendirian, seperti yang terjadi setelah pemberontakan Januari 2011 yang menggulingkan mantan Presiden Husni Mubarak.
Titik balik
Dalam pernyataan eksklusif kepada Anadolu Agency, juru bicara Ikhwan Talaat Fahmy mengatakan perubahan baru-baru ini datang mengingat negara menghadapi kondisi serius.
Dia menegaskan Ikhwanul Muslimin tidak akan memimpin di panggung politik di masa depan, mengatakan kelompok itu “adalah bagian dari masyarakat Mesir dengan semua spektrum dan kelas.”
Mengikuti aliansi di tahap yang akan datang, ia berkata, “kelompok itu percaya bahwa dibutuhkan kerja sama semua orang yang setia di tanah air untuk mendirikan negara demokrasi sipil modern.”
Khairy Omar, seorang akademisi Mesir yang berspesialisasi dalam gerakan politik, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa langkah Ikhwanul Musimin mencerminkan “kegagalannya melakukan perlawanan dari luar negeri.”
Omar mengatakan dalam beberapa tahun terakhir oposisi dari luar negeri Ihwanul Muslimin tidak berusaha untuk menetapkan kerangka konsep legitimasi yang dituntut setelah mengeluarkan Morsi dari kekuasaan dalam kudeta militer.
“Ini pembicaraan yang bagus, tanpa mekanisme, dan kelompok itu akan melanjutkan terowongan gelapnya sampai kondisi berubah di Mesir.” Dia menekankan bahwa “kepemimpinan kelompok di masa lalu lebih fleksibel secara politik daripada sekarang,” kata Omar.
Ammar Fayed, seorang peneliti gerakan politik Islam, mengatakan Ikhwanul Muslimin percaya bahwa mereka membuat pengorbanan dan banyak anggotanya yang mendekam di penjara dan akan sulit baginya untuk menyerah pada mereka.
Dia mengatakan kelompok itu tahu mereka tidak dapat menghadapi rezim sendirian sehingga sekarang yakin dengan perlunya aliansi.
“Kelompok itu melihat dokumen Mohamad Ali sebagai titik awal yang cocok untuk memasukkan permintaan utamanya untuk menolak kudeta [militer] …,” katanya.
Fayed menekankan ada pendekatan internal dalam Ikhwan yang menolak keterlibatan dalam politik seperti yang terjadi setelah pemberontakan Januari 2011 dan kelompok perlu membangun kembali dirinya sendiri karena banyak anggotanya tetap di balik jeruji besi.
“Kepemimpinan kelompok saat ini tidak akan dapat menjawab persepsinya tentang masa depan politiknya, dan itu akan tetap menjadi pertanyaan yang tidak terjawab karena takut membuat keputusan strategis yang meningkatkan perpecahan internal,” katanya. (CK)