Indonesiainside.id, Jakarta – Pengamat Politik Internasional, Arya Sandhiyudha mengatakan, reklamasi Cina yang telah menabrak hak Filipina dan merusak laut Laut Cina Selatan (LCS) yang dilindungi UNCLOS berpotensi juga terjadi pada Natuna, Indonesia. Dia mengatakan, pengabaian terhadap kedaulatan negara, dengan dalih pulau buatan yang secara natural tidak bisa melangsungkan kehidupan manusia atau ekonomi.
“Karena hanyalah bebatuan sehingga tidak bisa dikategori ZEE atau landas kontinental,” ujar Arya, Sabtu (4/1).
Menurut dia, setidaknya ada enam senjata Indonesia untuk membangun soliditas ASEAN terkait LCS ini. Pertama, non-claimant state dan claimant state dapat bersatu untuk menentang klaim hak sejarah 9 garis Cina, karena itu tidak berlaku baik untuk sumber daya hidup atau tidak, sebab berada dalam wilayah ZEE dan landas kontinen negara ASEAN.
“Kedua, Cina tidak berhak mengklaim kedaulatan wilayah negara ASEAN, karena secara Yuridiksi melawan UNCLOS,” ujarnya.
Dia menjelaskan, klaim sembilan garis tidak bisa jadi dasar hak atas kepulauan manapun dari negara ASEAN, karena kepulauan palsu yang dibangun Cina merupakan low-tide elevations yang tidak memiliki hak zona maritim tersendiri. “Mayoritas daratan baru yang dibangun China tidak punya hak wilayah maritim,” kata Arya.
Ketiga, Cina bukan negara kepulauan, tidak dapat menggunakan garis dari landas kepulauan yang ada di LCS.
Keempat, tak satu pun dari High Tide Features di kepulauan buatan Cina, merupakan pulau yang memiliki hak wilayah maritim tersendiri, karena bukan tempat tinggal manusia atau tempat penghidupan ekonomi tersendiri.
“Karena itu fitur tersebut secara hukum dilihat sebagai bebatuan dan tidak berhak atas ZEE atau landas kontinen tersendiri,” jelas Arya.
Kelima, Arya mengatakan persahabatan Cina-ASEAN akan rusak apabila klaim hak ini diteruskan Cina dengan terus memaksakan propaganda dan menggunakan paksaan diplomatik.
Keenam, pelanggaran UNCLOS lainnya adalah operasi pengawasan laut Cina di LCS juga melanggar UNCLOS tentang hak-hak berdaulat negara-negara ASEAN atas sumber daya nonhayati di landas kontinennya. Juga, aktivitas memancing Cina di Laut Cina Selatan yang berada di wilayah ZEE negara-negara ASEAN.
“Indonesia harus mendorong sikap ASEAN solid berbasis prinsip keputusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag yang menyatakan klaim Cina di Laut Cina Selatan tak memiliki landasan hukum,” katanya.
Dia menambahkan, selama ini Indonesia tidak punya sengketa klaim dengan Cina. Kalau Cina menyentuh Natuna, potensi menyatukan non claimant state dan claimant state jadi Kontra China.
“Pengusiran nelayan Indonesia oleh kapal coast guard Cina di perairan Natuna, sudah masuk kategori isu kedaulatan. Indonesia dapat menggunakan prinsip dalil Filipina yang dibela oleh Keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, 2016 lalu yang mengatakan Cina telah melanggar kedaulatan di Laut Cina Selatan (LCS),” menurut Arya.
Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) yang lalu memenangkan Filipina atas klaim hak sejarah 9 garis Cina di Laut Barat Filipina dengan argumentasi tak berdasar hukum internasional dan tidak sejalan dengan UNCLOS yaitu Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE). “Hal yang berlaku bagi Filipina juga dapat digunakan Indonesia. Sekaligus sadarkan ASEAN musti solid agar tidak peluang diperlakukan semena-mena oleh Cina. (Aza)