Indonesiainside.id, Jakarta – Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), KH Ahmad Shobri Lubis, mengingatkan perjuangan Presiden ke-2 RI Soeharto saat muslim Bosnia dibantai oleh pasukan Serbia di tahun 1995. Sebagai pemimpin umat Islam terbesar di dunia, Pak Harto langsung berkunjung ke Bosnia. Dan saat itu, Pak Harto menolak mengenakan helm baja dan menolak menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.
“Saya ingin mengingatkan bagaimana (dukungan) Pak Harto. Pak Harto itu bukan ahli agama, tapi dia merasa menjadi pemimpin rakyat Indonesia,” kata kiai Shobri dalam pertemuan Ormas Islam di kantor MUI terkait nasib muslim India, kemarin (12/3). Sehingga, lanjut kiai Shobri, begitu Bosnia diserang oleh Serbia dan melihat gerakan umat Islam di Indonesia sudah mulai gerah, Pak Harto sebagai pimpinan menyatakan tanggung jawabnya. “Rakyat tak usah bergerak, itu tanggung jawab pimpinan, dia merasa menjadi pemimpin rakyat,” ujarnya.
Ketika itu, pembantaian etnis Muslim di Balkan telah memakan korban ribuan rakyat Bosnia. Dunia mencatatnya sebagai genosida paling mengerikan setelah Perang Dunia II usai. Sekitar 200 ribu umat Islam tewas dibantai dan 20 ribu wanita Muslim menjadi korban pemerkosaan, demikian menurut sebuah laporan.
Pak Harto nekat masuk Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995. Keputusan Pak Harto masuk di tengah wilayah yang tengah berkecamuk ini mengagetkan semua anggota rombongan. Apalagi baru mendapat kabar pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembaki saat terbang ke Bosnia.”Pak Harto turun ke Bosnia, dia turun ke Bosnia membangun Masjid Soeharto. Ini sebagai bukti bahwa Indonesia ikut campur atas kejadian di Bosnia,” tutur kiai Shobri.
Dalam konteks saat ini, dia ingin agar pemerintah mendengarkan aspirasi dari umat Islam dan menyampaikan dukungannya kepada muslim India seperti Pak Harto. Kiai Shobri menilai, pemerintah Indonesia khususnya Kemenlu, dari beberapa peristiwa seperti Uighur, Rohingya, peranannya sangat lemah dan bertele tele, seakan-akan tidak ada amanah konstitusi. “Jadi, peranan pemerintah sekarang ini, naudzubillah ya, sangat tidak peduli dengan urusan-urusan yang menimpa umat Islam, baik dunia maupun di Indonesia,” katanya.
Ia menyampaikan, jika dukungan pemerintah yang diharapkan tidak kunjung tiba, yaitu membawa aspirasi rakyat dan umat Islam, maka mau tidak mau, suara dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi umat Islam Indonesia, harus lantang disuarakan.”Kita harus menunjukan bahwa kita bersama-sama anti terhadap perbuatan rasis dan teroris pemerintah India,” katanya.
Penekanannya adalah bagaimana pemerintah Indonesia megamalkan pembukaan UUD 1945, yaitu sikap politik bebas aktif. “Agar Indonesia berkibar, tidak hanya (menangani) masalah Indonesia saja, tapi juga masalah rakyatnya dan dunia,” ujar dia.(PS)