Indonesiainside.id, Islamabad- Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menolak undang-undang baru yang diperkenalkan oleh pemerintah India di Jammu dan Kashmir. OKI beralasan UU baru itu dapat mengubah demografi wilayah mayoritas Muslim yang dipersengketakan itu.
Badan Muslim itu menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas pengenalan UU baru di Jammu dan Kashmir oleh India. Penolakan ini disampaikan hari Sabtu (4/4) malam dari kantor pusatnya di Jeddah.
“Pengenalan undang-undang baru ini yang mengatur domisili lebih lanjut memperumit situasi yang sudah mengerikan di wilayah yang disengketakan sejak pemindahan sepihak pada 5 Agustus 2019. Dari status otonomi khusus yang diberikan kepadanya berdasarkan Konstitusi,” kata pernyataan itu.
Undang-undang baru dapat mengubah struktur demografis Jammu dan Kashmir, yang merupakan wilayah yang disengketakan sebagaimana diakui oleh resolusi di Dewan Keamanan PBB, tambah OKI. Di bawah UU baru, yang diperkenalkan India, mereka yang telah tinggal selama 15 tahun di lembah subur ini berhak untuk menjadi penduduk tetap.
Perkembangan ini mengikuti penghapusan status otonomis khusus lama kawasan yang disengketakan di New Delhi pada Agustus lalu.
Kashmir, wilayah Himalaya, dikendalikan oleh India dan Pakistan sebagian dan diklaim oleh keduanya secara penuh. Sepotong kecil Kashmir juga dikendalikan oleh Cina. Kedua negara telah tiga kali berperang – pada tahun 1948, 1965 dan 1971 – sejak mereka dipartisi pada tahun 1947, dua di antaranya memperebutkan Kashmir.
Begitupun di gletser Siachen, Kashmir utara, pasukan India dan Pakistan telah berperang beberapa kali sejak tahun 1984. Gencatan senjata mulai berlaku pada tahun 2003 lalu. Beberapa kelompok Kashmir di Jammu dan Kashmir telah berperang melawan kekuasaan India untuk kemerdekaan atau untuk bersatu dengan negara tetangga Pakistan.
Dari peperangan tersebut, beberapa organisasi hak asasi manusia, mengatakan ribuan orang dilaporkan tewas dalam konflik sejak tahun 1989 silam. (CK/AA)