Indonesiainside.id, Jerusalem-Kota Baka al-Gharbiyeh, terletak di tempat yang oleh orang Israel disebut “Segitiga”. Yakni sekelompok kota dan desa-desa Arab yang terletak di sepanjang Garis Hijau atau perbatasan Israel pra-1967, dekat Tepi Barat.
Daerah itu adalah jantung bagi warga Arab Israel. Berdasarkan data yang dilansir dari laman pri.org, warga Arab Israel merupakan 21% dari populasi umum 9 juta warga yang tinggal di Israel. Mereka adalah minoritas terbesar di negara ini.
Di bawah rencana ‘Kesepakatan Abad Ini’ yang tertuang dalam dokumen setebal 181 halaman ini berjudul “Peace to Prosperity” atau “Damai Menuju kemakmuran” yang digagas Presiden AS Donald Trump, yang dirilis pada akhir Januari. Dalam usulan ini, perbatasan Israel akan digambar ulang sedemikian rupa sehingga Komunitas Segitiga menjadi bagian dari Negara Palestina. Jika rencana itu diterapkan, maka sekitar 350.000 warga Arab Israel yang bermukim di wilayah itu akan berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Palestina.
“Saya tidak mau pindah ke Palestina yang tidak memiliki masa depan,” kata Majadleh, warga Kota Baka al-Gharbiyeh. Ia tumbuh dalam keluarga terkemuka di Baka al-Gharbiyeh, di mana ia menjabat sebagai wali kota sementara. “Saya ingin tinggal di sini, karena saya lahir di sini, bersama ayah dan kakek saya. Saya tidak ingin pindah ke negara lain.” Tambahnya.
Sentimen itu juga dimiliki oleh banyak orang Arab yang tinggal di wilayah Segitiga. Seperti Majadleh, mereka percaya bahwa masa depan negara semi-otonom Palestina yang diusulkan dalam rencana Trump tidak akan berkelanjutan dan tidak akan memenuhi aspirasi untuk penentuan nasib sendiri.
Trump mengumumkan rencananya itu dalam konferensi pers seremonial di Gedung Putih awal tahun ini, bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Namun, Otoritas Palestina tidak hadir, dan menolak rencana tersebut, dengan alasan bahwa rencana tersebut bermakna bias dan nampak sepihak mendukung Israel.
Dalam perencanaan tersebut juga disebutkan bahwa orang-orang yang tinggal di Segitiga, sebagian besar adalah warga Palestina. Hal ini berdasarkan fakta yang ada bahwa benar sebagian besar mereka yang bermukim di sana adalah keturunan Palestina, namun mereka memegang kewarganegaraan Israel.
Warga Baka al-Garbiyeh lainnya, Muhammad, 19, yang bekerja di sebuah toko roti, mengatakan ia mengidentifikasi diri sebagai orang Israel dan Palestina – tetapi orang Arab yang tinggal di Israel menghadapi banyak diskriminasi. “Ada rasisme,” kata Muhammad dalam bahasa Ibrani yang sempurna. “Tapi cara untuk mengatasinya adalah dengan memasukkan orang Arab dalam kehidupan di sini. Untuk hidup bersama. Itu yang akan membuat perdamaian. ”
Sebelum pemerintahan Trump menggagas rencana perdamaiannya, penjajah Israel telah terlebih dahulu mengeluarkan kebijakan yang disebut “Hukum Negara-Bangsa,”. Ini adalah sebuah RUU deklaratif, terutama yang menekankan Israel sebagai negara-bangsa orang-orang Yahudi. Namun para kritikus menganggap kebijakan itu hanya untuk mempertegas identitas orang Yahudi Israel, dan pada dasarnya menjadikan warga negara Arab sebagai komunitas kelas dua.
“Saya melihat rencana ini sebagai kelanjutan dari hukum negara-bangsa,” kata Rinad Jbara, seorang pengacara dan Ketua Tishreen, sebuah organisasi nirlaba yang bekerja dengan pemuda Arab di Taybeh, kota lain di wilayah Segitiga.
“Ini merupakan upaya untuk menurunkan peringkat warga Palestina yang tinggal di [perbatasan] tahun 1948 dan memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua,” tambahnya, merujuk pada tahun berakhirnya pemerintahan Inggris atas Palestina dan Negara Yahudi Israel yang independen didirikan. “Saya melihatnya sebagai prioritas untuk karakter Yahudi dari ‘negara Israel’. Jadi, bagaimana bisa ada negara Yahudi dengan nilai-nilai demokrasi? Itu kontradiksi. ”
Kisah pribadi Jbara mencontohkan komplikasi bagi banyak orang Arab yang tinggal di Israel. Dia menikah dengan seorang pengacara Arab-Israel dan bersama-sama mereka menetap di kampung halamannya di Taybeh, di mana mereka membesarkan empat anak yang semuanya memiliki kewarganegaraan Israel. Tetapi Jbara tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan Israel karena ia dilahirkan di Tepi Barat. Jbara mengatakan rencana perdamaian Trump merusak ‘solusi dua negara’, yang masih dilihat oleh sebagian besar dunia sebagai cara terbaik untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina, namun ditolak mayoritas rakyat Palestina.
Asil Matani, seorang manajer proyek di Tishreen, juga merasakan hal yang sama. Dia mengatakan bahwa meskipun ia memiliki pekerjaan yang baik dan tinggal di kota yang menyenangkan, kehidupan di Israel sebagai orang Arab tidaklah mudah. “Ini sulit karena ada banyak diskriminasi di sini,” katanya. “Kamu merasa aneh di tanah airmu. Anda tahu perasaan itu? Anda merasa seperti orang asing di tanah air Anda. ”
Matani mengatakan suatu hari nanti dia ingin tinggal di negara Palestina yang merdeka. Tapi dia mengatakan itu bukan yang diinginkan pemerintah Israel – dan bukan itu yang diusulkan pihak Gedung Putih. Hal berbeda diungkapkan Jude Masalha, seorang siswa berusia 14 tahun yang tinggal di Baka al-Gharbiyeh, mengatakan ia tidak ingin menyerahkan kewarganegaraan Israel – meskipun ia mendukung gagasan negara Palestina masa depan.
“Saya pikir kondisi di Palestina benar-benar buruk dan karena itu, saya dapat memilih Israel,” katanya. “Bukan karena saya mencintai Israel, tetapi karena mengapa saya akan menderita seperti orang Palestina lainnya? Dan jika saya tinggal di Israel, mungkin saya bisa lebih membantu rakyat Palestina,” tambahnya.* (CK/ Maulana Rozandy)