Indonesiainside.id, Pyongyang – Korea Utara menyatakan bahwa mereka tidak melihat adanya manfaat dalam menjaga hubungan antara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump jika Washington tetap berpegang pada kebijakan yang bermusuhan. Dalam sebuah pernyataan panjang yang dilakukan oleh Kantor Berita Pusat Korea (KCNA), Menteri Luar Negeri Ri Son Gwon mengatakan sementara orang-orang di kedua negara menginginkan perdamaian, Washington bersikeras hanya memperburuk situasi.
Kebijakan AS membuktikan bahwa Washington tetap menjadi ancaman jangka panjang bagi Korea Utara dan rakyatnya. “Makanya Pyongyang memilih untuk mengembangkan kekuatan militer yang lebih andal untuk menghadapi ancaman itu,” kata Ri Son Gwon dalam sebuah pernyataan, yang dilansir Aljazeera.
“Apa yang menonjol adalah bahwa harapan untuk meningkatkan hubungan Korea Utara-AS yang tinggi di udara di bawah sorotan global dua tahun lalu, kini bergeser ke dalam keputusasaan yang ditandai dengan kemunduran yang semakin meningkat,” tambah Ri dalam pernyataan itu. “Bahkan sinar tipis optimisme untuk perdamaian dan kemakmuran di semenanjung Korea memudar menjadi mimpi buruk yang gelap.”
Ri melanjutkan dengan merinci apa yang ia sebut oleh Pyongyang di masa lalu sebagai “tekad kuat” untuk meningkatkan hubungan, termasuk moratorium pengujian nuklir, pembongkaran situs uji coba Punggye-ri utama, dan pemulangan sisa-sisa tentara AS dari Perang Korea.
“AS mengaku sebagai advokat untuk meningkatkan hubungan dengan Korea Utara, tetapi pada kenyataannya, mereka hanya akan memperburuk situasi,” lanjut Ri dalam pernyataannya. “Akibatnya, semenanjung Korea kini berubah menjadi hotspot paling berbahaya di dunia yang dihantui oleh perang nuklir.”
Trump dan Kim bertukar tudingan dan ancaman pada tahun 2017 ketika Korea Utara membuat kemajuan besar dalam program nuklir dan misilnya, dan AS menanggapi dengan memimpin upaya internasional untuk memperketat sanksi. Hubungan meningkat secara signifikan di Singapura pada Juni 2018, pertama kalinya presiden AS yang bertemu dengan pemimpin Korea Utara, tetapi pernyataan yang keluar dari pertemuan itu ringan dan tidak spesifik.
Pertemuan kedua pada Februari 2019 di ibukota Vietnam, Hanoi, gagal mencapai kesepakatan karena konflik atas seruan AS agar Korea Utara sepenuhnya menyerahkan senjata nuklirnya, dan tuntutan Korea Utara untuk bantuan sanksi. Pada Kamis (11/6), Korea Utara mengkritik AS karena ikut mengomentari masalah antar-Korea, dan mengatakan Washington sebaiknya tetap diam jika ingin pemilihan presiden mendatang berjalan lancar. Dilansir dari Channel News Asia, Departemen Luar Negeri AS tidak menanggapi permintaan komentar terkait pernyataan itu, dan Gedung Putih pun bersikap sama. (NE)