Indonesiainside.id, Jakarta – India terang-terangan meremehkan serangan militer Cina di sepanjang perbatasan timur di wilayah Ladakh baru-baru ini, tetapi kecemasan terus melingkungi wilayah tersebut.
Pada 1962, kedua negara telah berperang selama sebulan, yang berakhir ketika Cina mengumumkan gencatan senjata. India meyakini bahwa konflik itu awalnya dipicu oleh serangan Cina ke pos perbatasan terdepan mereka.
Namun seiring berjalannya waktu, India juga berupaya melakukan pengklaiman wilayah, yang kemudian menyebabkan perang dan ketegangan di wilayah itu. Bahkan setelah lima dekade, India belum juga merilis laporan Henderson Brooks-Bhagat yang mendokumentasikan faktor-faktor yang menyebabkan perang dan peran kepemimpinan militer dan politik selama periode itu.
Wajahat Habibullah, satu-satunya warga sipil selain menteri pertahanan yang pernah melihat laporan ini, mengungkapkan peta kontradiktif oleh India pada 1950 hingga 1960-an dan memicu terjadinya perang.
Saat memegang jabatan komisaris informasi utama negara itu, Habibullah menolak petisi yang diajukan oleh mendiang wartawan Kuldeep Nayyar yang menuntut agar laporan itu dipublikasikan.
Meskipun Habibullah menolak petisi Nayyar pada 2010, sekarang dia pun yakin bahwa peta baru India memang menciptakan kebingungan.
“Peta itu kontradiktif, khususnya mengenai tata letak MacMohan ke Cina. Ini membuat Cina percaya bahwa salah satu pagar batas yang dijaga oleh pasukan kami di timur laut adalah milik mereka jika mengacu pada salah satu peta yang diberikan mereka pada kami,” tutur Habibullah meskipun dia menolak menyebutkan nama pagar batas di sepanjang perbatasan Arunachal Pradesh.
Pada 20 Oktober 1962, tentara Cina menyeberang untuk menduduki pagar perbatasan, yang menyebabkan pertikaian. Garis MacMohan sepanjang 890 kilometer disahkan oleh Inggris pada 1914 untuk memisahkan wilayah India dan Cina, walaupun hingga saat ini masih diperebutkan dengan Cina.
Bukti Baru Bertentangan dengan Klaim India
Beberapa saat setelah perang, pada 1963, Letnan Jenderal Henderson Brooks dan Brigjen Prem Bhagat ditugaskan untuk menguraikan alasan-alasan penyebab perang dan kekalahan India.
Mereka kemudian menyajikan sebanyak 28 jilid laporan kepada perdana menteri pertama India Jawaharlal Nehru. Sejak itu, laporan tersebut tersimpan di brankas Kementerian Pertahanan India dan dijaga ketat.
“Saya rasa laporan itu tidak perlu dideklasifikasi. Deklasifikasi hanya akan berujung pada keterbukaan informasi pertahanan kepada orang-orang Cina. Selain itu, laporan tentang militer India akan memiliki efek demoralisasi pada militer saat ini,” ujar Habibullah.
Penulis sekaligus pakar urusan konstitusional dan diplomatik AG Noorani pun menguatkan pandangan Habibullah. Noorani menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa para pejabat dan diplomat India mengesampingkan fakta-fakta sejarah, terutama yang berasal dari media dan akademisi.
Menurutnya, adalah sebuah kebohongan besar bahwa Pakistan telah menyerahkan wilayah yang sangat luas di Jammu dan Kashmir ke Cina pada 1960-an. Negara bagian Jammu dan Kashmir disebut-sebut memiliki luas 82.258 mil persegi, seperti yang diklaim India pada 27 Oktober 1947.
Namun, berdasarkan dokumen sensus 1891 maupun 1901, area itu tercatat memiliki luas 80.900 mil persegi. Kemudian, pada 1911, area itu tercatat memiliki 84.258 mil persegi, sebelum akhirnya komisaris sensus mendesak untuk mengkoreksinya menjadi 82.258 mil persegi pada 1941.
Sebuah buku putih yang dirilis oleh menteri dalam negeri pertama India Sardar Patil setelah India merdeka, juga mencantumkan data yang sama.
Pada sensus 1961, India mengganti data luas Jammu dan Kashmir menjadi 86.024 mil persegi. Hingga saat ini tidak ada yang tahu asal mula penambahan 3.766 mil persegi ini.
Data itu diubah segera setelah PM Nehru kembali dari Karachi untuk menandatangani Perjanjian Indus Basin Water yang bersejarah dengan presiden Pakistan saat itu, Ayub Khan, pada 1960.
Pembakaran Peta
Qudratullah Shahab, sekretaris utama Khan, menceritakan dalam autobiografinya bahwa selama diskusi santai di Murree, Nehru bertanya apakah Pakistan sedang merundingkan perjanjian perbatasan dengan Cina dan meminta untuk ditunjukkan peta.
“Karena itu pertemuan informal, Ayub setuju untuk mengirim salinan peta. Namun, tak lama setelah itu Nehru justru kembali ke Delhi dan menyerukan langkah diplomatik yang meminta Pakistan untuk menyerahkan peta ke India melalui saluran resmi,” tulis Shahab.
Di hadapan parlemen, Nehru menuding Pakistan dan Cina melakukan konspirasi bersama. Sementara itu, Noorani dalam buku terbarunya berjudul India-China Boundary Problem, 1846-1947: Sejarah dan Diplomasi (Oxford), menyebutkan bagaimana peta lama dibakar di Kementerian Luar Negeri untuk membuat garis batas baru secara sepihak.
“Pada 24 Maret 1953, sebuah keputusan diambil untuk merumuskan garis batas baru, sehingga peta-peta lama dibakar,” ungkap Noorani mengutip kesaksian seorang mantan menteri luar negeri.
Noorani mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa memorandum yang dikeluarkan oleh Nehru telah memberikan arahan eksplisit kepada kementerian untuk menarik semua peta lama.
“Bukti arsip menunjukkan bahwa peta-peta baru hanya memperlihatkan batas-batas Utara dan Timur Laut tanpa merujuk ke garis mana pun. Nehru juga meminta agar peta-peta ini dikirim ke kedutaan besar di luar negeri, diperkenalkan kepada khalayak luas, dan digunakan di sekolah dan perguruan tinggi,” tutur pakar hukum dan konstitusional itu.
Arahan Nehru Tutup Pintu Negosiasi
Noorani berpandangan bahwa instruksi Nehrulah yang menutup pintu untuk negosiasi perbatasan. Pada akhirnya, batas di sektor barat (Kashmir) dan tengah (Uttar Pradesh) dianggap benar secara kolektif, seperti yang tercantum di peta baru yang dibuat pada 1954, sekaligus peta resmi keluaran tahun 1948 dan 1950.
Noorani menolak anggapan bahwa Pakistan telah menyerahkan sejumlah wilayah ke Cina. Bukti arsip menunjukkan bahwa justru Cina yang menyerahkan wilayah seluas 750 mil persegi ke Pakistan di bawah perjanjian perbatasan Pakistan-Cina yang disepakati pada 3 Maret 1963.
“India mungkin menentangnya karena Pakistan dianggap tak punya wewenang untuk memberlakukan perjanjian ini, karena Jammu dan Kashmir adalah wilayah yang disengketakan, tetapi Pasal 6 dari perjanjian itu terbuka untuk revisi jika masalah permukiman Kashmir terselesaikan,” kata dia lagi.
Chaudry Mohammad Aslam, seorang kartografer sekaligus surveyor Pakistan yang bertanggung jawab dalam demarkasi perbatasan dengan Cina, menegaskan bahwa demarkasi dibuat berdasarkan fakta-fakta sejarah.
Aslam juga berperan penting dalam pembuatan demarkasi perbatasan dengan Iran. Dia pun dianugerahi Nishan-i-Humayun oleh Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi.
Inggris Tinggalkan Wilayah Tanpa Garis Demarkasi
Di bawah Perjanjian Amritsar Maret 1846, ketika Inggris membentuk negara bagian Jammu dan Kashmir, mereka meninggalkan perbatasan utara dan timurnya tanpa garis demarkasi.
Kemudian pada 1846 dan 1847, Inggris mendesak Cina untuk merundingkan perjanjian perbatasan, tetapi Cina menolak. Perjanjian Pakistan-Cina 1963 didasarkan pada proposal Inggris yang ditawarkan ke China pada 1899.
Selanjutnya, menurut Noorani, bukan Cina yang menekan Pakistan untuk menyelesaikan sengketa. Sebaliknya, Pakistan lebih ingin menyelesaikannya dengan India terlebih dahulu.
Noorani juga menyalahkan kabinet yang terpecah-belah, oposisi yang lepas tanggung jawab, pers India yang kurang informasi, dan pergolakan di parlemen karena menyeret isu sengketa perbatasan.
Dia menyayangkan bahwa satu-satunya studi yang komprehensif dan objektif yang dilakukan oleh K Zakariah, direktur Divisi Sejarah di Kementerian Luar Negeri, pada 1953 masih dirahasiakan.
Selain menggarisbawahi adanya ketimpangan antara fakta sejarah dan kebijakan India tentang perbatasan, dia mempermasalahkan diplomasi yang tidak fleksibel.
Selain itu, PM China yang menjabat saat itu, Zhou En-lai, terlanjur menerima solusi berdasarkan kepentingan vital yang tak dapat dinegosiasikan selama kunjungannya ke New Delhi pada April 1960. (Aza/AA)