Indonesiainside.id, London– Pakar medis pada hari Rabu (24/6) memperingatkan pemerintah Inggris untuk bersiap menghadapi “risiko nyata” gelombang kedua serangan virus corona baru. Peringatan disampaikan hanya sehari setelah pencabutan pembatasan dan kuncian terbesar di Inggris.
“Sementara kondisi masa depan pandemi di Inggris sulit untuk diprediksi, bukti yang tersedia menunjukkan bahwa gejolak lokal semakin cenderung dan gelombang kedua risiko nyata,” kata para ahli dalam surat terbuka yang diterbitkan British Medical Journal, kutip AFP.
Surat itu menambahkan bahwa tugas utama adalah “memastikan bahwa negara tersebut cukup siap mengekang fase kedua”. Surat itu ditandatangani oleh 16 ahli terkemuka, termasuk kepala Royal College of Surgeons, the Faculty of Public Health dan the Royal College of Nursing.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Bors Johnson hari Selasa mengumumkan apa yang disebutnya sebagai awal dari “hibernasi nasional”, yang memungkinkan pembukaan kembali sebagian besar sektor ekonimi dan publik di Inggris mulai 4 Juli. Pembukaan pub, hotel, restoran, museum, dan galeri, dengan aturan jarak sosial dua meter yang diberlakukan sejak Maret akan berkurang menjadi satu meter, tergantung pada area, di samping kewajiban mengenakan masker wajah.
Keputusan itu dipandang penting bagi sebagian besar pelaku ekonomi, yang menghadapi resesi dan kehilangan pekerjaan berskala besar setelah lebih dari tiga bulan penutupan dan pembatasan tinggal di rumah saja. Tetapi keputusan untuk secara efektif mencabut lockdown itu segera dipertanyakan.
Mantan kepala penasihat ilmiah pemerintah, David King, mengatakan kepada televisi Sky News bahwa langkah itu “sangat berisiko”, dan leboh bersifat politik daripada keputusan ilmiah. Alok Sharma, sekretaris bisnis pemerintah, mengatakan bahwa pencabutan pembatasan itu dibenarkan dan tidak ada “perbedaan antara memastikan orang-orang tetap aman dan melindungi mata pencaharian”.
Inggris mencatat 43.000 kematian di antara jumlah positif Covid-19, jumlah terburuk di kawasan Eropa dan, hingga saat ini, mencatat 171 kematian. Namun, angka kematian aktual diperkirakan 60.000. Namun, ketentuan ini hanya untuk Inggris. Sedangkan otoritas Skotlandia, Irlandia Utara dan Wales memiliki hak untuk menetapkan aturan mereka sendiri. (NE)