Indonesiainside.id, Kabul – Kelompok beresenjata Taliban membantah laporan media Amerika Serikat (AS) yang mengklaim bahwa unit intelijen Rusia diam-diam memberi hadiah uang kepada mereka karena menargetkan pasukan Amerika di Afghanistan. Taliban mengatakan tidak mencari atau menerima bantuan dari negara atau badan intelijen mana pun dalam 19 tahun mereka perang melawan AS.
“Kami mendengar laporan itu, dan semuanya salah serta tidak berdasar,” kata Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban, dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (27/6).
Mujahid mengatakan bahwa Taliban tidak memiliki persenjataan canggih untuk melakukan serangan canggih terhadap AS. Menurutnya ini adalah bukti bahwa mereka tidak menerima senjata asing.
“Kami menggunakan sumber daya apa pun yang kami miliki di Afghanistan, atau menyiapkan, misalnya bom jalan dan mobil, dari bahan peledak dan bahan yang tersedia secara lokal,” katanya.
Dia mengatakan kelompok itu tidak menargetkan pasukan AS sejak kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai di Doha pada akhir Februari lalu. Sesuai dengan perjanjian, pasukan AS akan meninggalkan Afghanistan pada musim semi 2021.
Sebelumnya, Sabtu (27/6), laman New York Times dan dua harian Amerika lainnya melaporkan bahwa para pejabat intelijen AS menyimpulkan bahwa unit intelijen militer Rusia diam-diam menawarkan hadiah uang kepada militan yang terkait dengan Taliban karena membunuh pasukan koalisi di Afghanistan dan menargetkan pasukan AS. Dalam kesempatan itu, Mujahid juga mengungkapkan bahwa beberapa pihak di AS kecewa dengan kesepakatan Doha.
“Mereka ingin mencegah penarikan pasukan Amerika dari sini karena mereka akan kehilangan sumber daya dan pendapatan yang mereka peroleh dari melanjutkan perang, dan mereka ingin melakukan segalanya untuk kelangsungan hidup mereka,” katanya.
Sementara itu, Rusia mengalami kemunduran yang memalukan setelah hampir 10 tahun di Afghanistan pada 1980-an. Rusia bergabung dengan Iran, Pakistan dan Cina dalam menentang kehadiran AS di negara itu.
Meskipun para pejabat Afghanistan di masa lalu gagal menemukan hubungan militer langsung antara Taliban dan Moskow, beberapa pejabat provinsi mengatakan Rusia memberikan informasi intelijen kepada kelompok itu ketika mereka menguasai kota utara Kunduz, dekat perbatasan dengan Tajikistan, pada 2015 dan 2016.
Analis Zabihullah Pakteen mengatakan bahwa Rusia menjadi pendukung vokal Taliban dalam perang mereka melawan Daesh. Dia menambahkan bahwa laporan tentang hadiah uang itu mungkin merujuk pada peristiwa sebelum kesepakatan Qatar, dan bahwa kebocorannya bisa menjadi permainan strategis terkait dengan penarikan pasukan AS.
“Keterlibatan Rusia di Afghanistan dalam memberikan hadiah uang untuk membunuh tentara AS tentu saja memberi tekanan pada pemerintahan Trump saat pilpres AS semakin dekat. Aspek yang paling penting dari kebocoran intelijen dapat dihubungkan dengan penarikan pasukan, sehingga AS harus tetap tinggal untuk menghadapi Rusia dan musuh-musuh lainnya di kawasan itu,” katanya kepada Arab News. (NE)