Indonesiainside.id, Riyadh – Sejak awal wabah global virus corona, Arab Saudi bertindak cepat dan tegas untuk mengekang dampak penyakit, membatasi perjalanan udara, memaksakan jam malam, dan menguji serta mengkarantina ribuan orang.
Pihak berwenang tidak melupakan pelajaran keras yang dipetik setelah merebaknya sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) pada 2012. Pada Senin (27/7), ada lebih dari 16 juta kasus virus corona yang tercatat di seluruh dunia, dan lebih dari 650.000 nyawa melayang. Sejak mencatat kasus pertamanya pada awal Maret lalu, Saudi mengonfirmasi 268.934 kasus infeksi, dan 2.760 kematian.
Namun demikian, Arab Saudi mengalami tingkat kasus kematian hanya 1 persen, jauh lebih baik daripada banyak negara lainnya, termasuk Inggris (15,3 persen), Italia (14,3 persen) dan Prancis (14,1 persen). Kerajaan itu juga menderita lebih sedikit kematian per 100.000 penduduk dibandingkan banyak negara, sebanyak 7.49 kematian dibandingkan dengan 68 dan 43 kematian per 100.000 orang di Inggris dan AS.
Pada 27 Februari, sebelum satu kasus pun ditemukan di Arab Saudi, Kerajaan mulai menangguhkan visa untuk Umrah. Pada 2019, ibadah umrah menarik 19 juta jamaah, yang 7,5 juta diantaranya datang dari luar negeri. Sementara untuk haji, 2,5 juta jamaah datang ke Makkah, dan 1,85 juta diantara mereka berasal dari luar negeri.
Meskipun menunda keputusan final atas haji selama mungkin, pada awal April Menteri Haji Dr Mohammed Salih Bentin menyarankan umat Islam di seluruh dunia untuk menunda pemesanan perjalanan mereka. “Kami meminta dunia untuk tidak terburu-buru berkaitan dengan haji sampai jalur epidemi menjadi jelas, mengingat keselamatan para jamaah dan kesehatan masyarakat sebagai prioritas,” katanya.
Pada 22 Juni, Kementerian Haji dan Umrah mengatakan bahwa mengingat risiko penyakit dan infeksi menyebar dalam pertemuan yang ramai, maka kementerian memutuskan untuk membatasi jumlah jamaah haji, yang akan dipilih dari berbagai kebangsaan yang sudah tinggal di Arab Saudi, hingga 1.000 jamaah saja. Keputusan itu segera disambut baik oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Kami memahami bahwa itu bukan keputusan yang mudah untuk dibuat, dan kami juga memahami itu adalah kekecewaan besar bagi banyak Muslim yang menantikan untuk berziarah tahun ini,” kata Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.
“Namun ini adalah contoh lain dari pilihan sulit yang harus dilakukan semua negara untuk mengutamakan kesehatan,” ungkapnya. (ASF)