Indonesiainside.id, Jakarta – Pengalihan status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid pada Juli ini dinilai menguntungkan Turki dalam konteks politik internasional.
Pengamat politik internasional dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam dalam seminar virtual terkait Hagia Sophia dan relasi internasional yang digelar pada Rabu(29/7), menyatakan Turki diuntungkan oleh beberapa fenomena, termasuk krisis Covid-19 dan pemilu AS.
“Turki sekarang mencoba menggunakan prinsip non-interference di dalam kerja-kerja diplomasi untuk mengamankan kepentingan nasional dari intervensi negara maupun organisasi multilateral,” ujar Umam, sapaannya.
Tak lama setelah Presiden Turki Tayyip Erdogan mengumumkan peralihan status Hagia Sophia, Yunani–dengan latar belakang masyarakat Kristen Ortodoks–bereaksi keras dan menyebutnya sebagai tindakan “tak perlu dan picik”.
“Dengan langkah mundur ini, Turki memilih untuk memutuskan hubungan dengan dunia Barat dan nilai-nilainya,” kata Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis, dikutip dari laporan Reuters.
Namun Umam melihat bahwa kemarahan Yunani akan lebih efektif jika didorong oleh kekuatan-kekuatan internasional, seperti Uni Eropa dan AS. Sementara kedua pihak itu tengah berada dalam kondisi yang, seperti ia sebut sebelumnya, menguntungkan Turki.
“Saya belum melihat resistensi yang sekuat Yunani. Turki diuntungkan atas situasi negara-negara besar Uni Eropa yang saat ini sibuk dengan penanganan pandemi Covid-19. Prancis dan Jerman, misalnya, mengalami resesi,” kata dia.
Sementara sikap politik AS, yang tengah bersiap dengan pemilihan presiden, terhadap Turki bisa berubah dari kecenderungan saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, jika petahana tidak terpilih lagi.
Dalam analisis Umam, Joe Biden sebagai kandidat presiden penantang petahana justru sangat sensitif dan berupaya mendapatkan suara dari para pemilih Muslim sehingga, “jika Joe Biden menang, maka resistensi AS terhadap Turki tidak akan segarang ketika negara itu di bawah Donald Trump.”
Sementara itu, Turki juga mendapat dukungan dari dunia Islam. Politisi terkemuka Malaysia mengecam negara-negara barat yang masih diselimuti Islamofobia agar tidak memprotes Turki.
“Negara-negara ini masih bungkam ketika Israel berencana menghancurkan Masjid al-Aqsa di Yerusalem. Kini mereka memprotes Hagia Sophia yang berfungsi sebagai gereja,” kata Abdul Hadi Awang, Utusan Khusus Malaysia untuk Timur Tengah sekaligus ketua Partai Islam Malaysia (PAS).
Sudah sejak lama Palestina mengungkapkan bahwa pekerjaan penggalian Israel di sekitar titik nyala menunjukkan rencana mereka untuk menghancurkan masjid tersebut dan membangun kembali Kuil Ketiga.
Hadi menyebutkan setelah penaklukkan oleh Istanbul, Hagia Sophia dianggap sebagai masjid utama di kota tersebut selama hampir 500 tahun.
Abdul Hadi menuturkan masjid Istanbul ternama lainnya seperti Masjid Biru, Sehzade, Suleymaniye, dan Rustem Pasha juga terinspirasi dari Hagia Sophia.
Pada 10 Juli salah satu pengadilan tinggi Turki membatalkan dekret Kabinet 1943, yang mengubah Hagia Sophia menjadi sebuah museum, dengan mengembalikan statusnya sebagai masjid setelah hiatus 85 tahun.
Kedahsyatan arsitektur di jantung Kota Istanbul itu merupakan sebuah gereja di era Bizantium namun dialihfungsikan menjadi sebuah masjid pada 1453 setelah penaklukan Utsmaniyah.(EP/ant)