Indonesiainside.id, Beirut – Sekitar 5.000 warga Lebanon turun ke jalan untuk menggelar aksi unjuk rasa yang memprotes kelalaian pemerintah atas ledakan di Kota Beirut, Lebanon. Ribuan warga marah atas kejadi tersebut dan berkumpul di Martyrs Square, sebuah pusat kota.
Namun, sebelum mereka mencapai gedung parlemen di Beirut, polisi antihuru hara Lebanon menembakkan gas air mata untuk menghalau para demonstran, Sabtu (8/8). Massa memprotes penanganan pemerintah atas ledakan dahsyat minggu ini di kota itu.
Polisi menembakkan gas air mata ketika beberapa pengunjuk rasa mencoba menerobos pembatas yang memblokir jalan menuju parlemen. Beberapa di antara peserta aksi protes merespons dengan melempar batu ke arah petugas.
Para pengunjuk rasa meneriakkan sloga “Jatuhkan Rezim!”, dan memegang poster bertuliskan “Pergi, kalian semua pembunuh”.
“Kami ingin masa depan yang bermartabat, kami tidak ingin darah para korban ledakan terbuang percuma,” kata Rose Sirour, salah satu pengunjuk rasa.
Peristiwa mengenaskan pada Selasa (4/8) itu merupakan ledakan terbesar dalam sejarah Beirut. Tak hanya menghancurkan sebagian kota itu. Kebakaran terdahsyat di dunia itu juga menewaskan 158 orang dan melukai 6.000 lainnya. Menurut data Kementerian Kesehatan, Sabtu (8/8), 21 orang dilaporkan hilang.
Beberapa warga, yang berjuang untuk membersihkan rumah-rumah yang hancur, mengeluh kepada pemerintah yang mereka anggap korup. Diketahui, aksi unjuk rasa berbulan-bulan berlangsung di Lebanon. Mereka memprotes penanganan krisis ekonomi yang parah di negara itu, sebelum bencana ledakan terjadi.
“Kami tidak mempercayai pemerintah kami,” kata Celine Dibo, seorang mahasiswa, saat dia membersihkan darah dari dinding gedung apartemennya yang hancur. “Saya berharap PBB akan mengambil alih Lebanon.”
Beberapa orang mengatakan mereka tidak terkejut bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunjungi lingkungan mereka yang hancur minggu ini, sementara para pemimpin Lebanon tidak.
“Kami hidup di ground zero. Saya berharap negara lain akan mengambil alih kami. Pemimpin kami adalah sekelompok orang yang korup,” kata psikolog Maryse Hayek, 48, yang rumah orang tuanya hancur dalam ledakan itu. (Aza)