Indonesiainside.id, Beirut – Dalam kehidupan yang ideal, Alexandra Najjar, gadis cilik Lebanon berusia 3 tahun itu seharusnya bisa menikmati musim panas yang menyenangkan bersama keluarganya. Setelah wabah virus corona berhasil dijinakkan nantinya, dia seharusnya bisa menjalani hari pertamanya di sekolah.
Dan seiring bergantinya tahun, orang tua Alexandra mungkin akan melihatnya tumbuh menjadi seorang gadis muda, menikmati hidup, bermimpi besar dan mungkin mencapai kehebatan di beberapa bidang.
Namun sayang, di dunia nyata yang penuh kekerasan di Lebanon yang dilanda krisis, impian orang tua Alexandra musnah berganti tragedi.
Sekitar 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di sebuah gudang di Pelabuhan Beirut meledak saat Alexandra sedang bermain dengan seorang teman pada malam tanggal 4 Agustus. Ledakan dahsyat yang menghantamnya, membuatnya terluka parah.
Gelombang kejut dari ledakan itu menghancurkan Beirut, jalan-jalannya diselimuti puing-puing dan pecahan kaca dengan banyak penduduknya diselimuti debu dan darah.
Tiga hari kemudian, setelah berada dalam kondisi kritis di rumah sakit dan menderita pendarahan internal di otaknya, Alexandra akhirnya meninggal karena luka-lukanya.
“Kamu membunuh kami di rumah kami sendiri, di tempat di mana saya pikir saya bisa membesarkan keluarga saya, dan melindungi keluarga saya. Tempat di mana jika krisis terjadi dan kita tidak memiliki apa-apa di negara ini, maka setidaknya kita memiliki rumah kita di mana kita bisa aman,” kata Paul Najjar, ayah Alexandra, dalam sebuah wawancara TV pada Sabtu (8/8) malam, menyerang para pemimpin Lebanon.
Saat rasa sakit atas kehilangan keluarga Alexandra menyebar, foto dan video Alexandra mulai dibagikan secara luas melalui platform media sosial dan grup WhatsApp, baik di wilayah Lebanon maupun sekitarnya.
Simpati warganet mengalir secara online, memberikan kesaksian tentang keputusasaan dan penderitaan yang dirasakan orang Lebanon di seluruh dunia setelah ledakan dahsyat tersebut. Kematian Alexandra yang terlalu dini menempatkan wajah manusia pada tragedi Beirut yang mengerikan.
Dalam salah satu foto, Alexandra terlihat duduk di atas bahu ayahnya saat dia ikut serta dalam aksi damai selama revolusi 17 Oktober tahun lalu, menuntut diakhirinya korupsi dan sektarianisme di Lebanon.
Komentar yang menyertai foto-foto di platform online itu menunjukkan dampak tragedi keluarga Najjar terhadap masyarakat dan diaspora Lebanon.
“Ini adalah foto Alexandra yang menuntut Lebanon yang lebih baik untuk menghapus pemerintahan yang korup dan tidak ada yang mendengarkan dan sekarang dia ada di surga,” tulis mantan Miss USA Rima Fakih di bawah postingan di Instagram.
Komentar warganet lainnya menuliskan: “Alexandra, kamu ada di hati dan doa kami untukmu hari ini dan selamanya. Kematianmu tidak akan sia-sia, kami akan memastikannya!”
Alexandra adalah salah satu korban termuda dari ledakan dahsyat di Beirut, yang secara keseluruhan, telah merenggut lebih dari 150 nyawa, dan hampir 6.000 orang terluka, serta 300.000 lainnya kehilangan tempat tinggal.
“Pesan saya untuk Lebanon adalah pesan persatuan,” kata Paul Najjar dalam wawancara tersebut. “Mereka membunuh kami, mereka tidak membunuh orang Kristen atau Muslim, atau yang berafiliasi politik atau tidak berafiliasi politik.”
“Kumohon, cukup. Kita harus berdiri bersama. Kami harus berdiri bersatu sehingga kami dapat melakukan perubahan, sehingga kami dapat memberontak demi Alexandra dan setiap anak serta setiap keluarga yang ingin tinggal di negara ini seperti yang kami harapkan,” tambahnya.
Pada Sabtu (8/8), ribuan warga Lebanon yang marah berkumpul di Lapangan Martir Beirut, menuntut pertanggungjawaban atas terjadinya ledakan, dan pengunduran diri semua pejabat pemerintah. Banyak dari mereka membawa tali, yang digunakan secara simbolis untuk menggantung aktor politik Lebanon, termasuk pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah.
Pemerintah menanggapi aksi warga dengan mengerahkan polisi anti huru hara dan tentara, yang menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan aksi protes serupa di depan parlemen di Lapangan Riad Al-Solh dan Pasar Beirut di dekatnya.
Palang Merah Lebanon dan Korps Darurat dan Bantuan Islam mengatakan bahwa bentrokan itu menyebabkan 728 lebih orang Lebanon terluka, 153 di antaranya dibawa ke rumah sakit dan 575 dirawat di lokasi.
Apapun kebenarannya, UNICEF memperingatkan bahwa hampir 80.000 dari mereka yang mengungsi akibat insiden tersebut adalah anak-anak yang keluarganya sangat membutuhkan dukungan.
Salah satu rumah sakit anak di daerah Karantina, yang memiliki unit khusus merawat bayi yang baru lahir, dilaporkan hancur. Di seluruh Beirut, setidaknya 12 fasilitas perawatan kesehatan primer, rumah sakit bersalin, pusat imunisasi dan bayi baru lahir juga rusak parah, dan mengganggu layanan bagi hampir 120.000 orang.
Dengan latar belakang yang suram ini, Paul Najjar dan istrinya berharap kematian Alexandra tidak akan sia-sia, tetapi akan memberikan dampak positif ketika bangsa itu membangun kembali dirinya sendiri.(EP)