Indonesiainside.id, Jakarta – Muhammad Ibrahim bin Abdul Majid yang merupakan tokoh kunci dalam pembicaraan damai antara muslim Thailand selatan dengan pemerintah, wafat di rumah sakit Malaysia, lansir Bangkok Post pada Kamis.
Muhammad Ibrahim, 61, merupakan negosiator Patani United Liberation Organitation (PULO) yang tergabung dalam organisasi payung Majelis Syura Patani atau Mara Patani.
Presiden PULO Kasturi Mahkota menyampaikan Muhammad Ibrahim adalah salah satu pucuk pimpinan PULO yang aktif berjuang untuk perdamaian di Thailand selatan.
Kasturi mengatakan Muhammad Ibrahim adalah sosok yang tidak pernah lelah untuk melayani kepentingan agama, bangsa dan Tanah Air.
“PULO dan saya mengucap takziah kepada seluruh ahli keluarga almarhum,” ujar Kasturi lewat akun Facebooknya.
Mara Patani yang didukung PULO aktif melakukan negosiasi damai dengan rezim junta militer untuk mencari solusi politik atas situasi di Thailand Selatan.
Namun pada Februari 2019, Mara Patani memutuskan menunda semua pembicaraan damai dengan pemerintah Thailand menyusul mangkirnya utusan perdamaian Pemerintah Thailand dari meja perundingan di Kuala Lumpur, Malaysia.
Setalah itu, Pemerintah Thailand mengalihkan pembicaraan damai bersama Barisan Revolusi Nasional Melayu Patani atau BRN, yang merupakan kelompok perlawanan terbesar di wilayah Selatan.
Tak berdampak pada negosiasi damai
Meski tokoh penting PULO meninggal, pengamat Thailand selatan menilai situasi ini tidak memberikan banyak dampak pada negosiasi damai yang tengah berlangsung.
Zahri Ishak menyampaikan wafatnya Muhammad Ibrahim tidak terlalu memberikan dampak pada negosiasi damai di Thailand selatan.
Menurut pria yang juga menjadi jubir NGO Bicara Patani ini, pemerintah Thailand ini kini fokus dalam melakukan perbincangan damai dengan BRN.
“Tidak ada pengaruh apa-apa karena proses damai antara Mara Patani dan pemerintah telah terhenti,” kata Zahri kepada Anadolu Agency pada Kamis.
Zahri juga menilai posisi BRN lebih memiliki pengaruh di Thailand Selatan daripada PULO yang berkiprah dalam dunia internasional.
“PULO banyak melakukan aksi [advokasi] di Swedia, Eropa, dan Arab,” kata Zahri.
Namun, kata Zahri, sejumlah masyarakat Thailand selatan masih mendukung Tindakan-tindakan PULO di kancah internasional.
“Tapi pihak yang paling kuat di lapangan adalah BRN karena memiliki pasukan kuat,” kata dia.
Sejak 2004, konflik bersenjata di empat provinsi berbasis Muslim di selatan Thailand telah menewaskan 7.000 jiwa.
Berdasarkan catatan NGO Thailand Jaringan Korban Undang-Undang Darurat (JASAD), sebanyak 12.930 warga telah ditangkap otoritas Thailand sejak pemberlakuan UU Darurat Militer pada 2004.(EP/AA)