Indonesiainside.id, Baghdad – Empat orang ditembak mati dan puluhan lainnya luka-luka di selatan Irak pada Jumat, kata petugas medis, dalam bentrokan antara pengunjuk rasa anti-pemerintah dan pendukung ulama Syiah Moqtada Sadr.
Kekerasan meletus ketika puluhan ribu pendukung Sadr turun ke jalan di Baghdad dan kota selatan Nasiriyah untuk unjuk kekuatan saat persiapan untuk pemilihan parlemen bulan Juni meningkat.
Jumlah pemilih mereka membayangi gerakan saingan yang didominasi pemuda yang meletus pada Oktober 2019 tetapi telah mereda dalam beberapa bulan terakhir karena ketegangan geopolitik dan pandemi virus corona.
Perdana Menteri Mustafa al-Kadhemi telah menyerukan agar pemungutan suara lebih awal dilakukan pada Juni 2021, hampir setahun lebih cepat dari jadwal, untuk memenuhi permintaan utama dari gerakan protes tahun lalu, yang juga termasuk pendukung Sadr.
Pada hari Jumat, pengikut ulama menyerang kamp tenda pengunjuk rasa anti-pemerintah di Lapangan Habboubi Nasiriyah, kata Mohammad al-Khayyat, seorang pemimpin gerakan anti-pemerintah.
“Orang-orang Sadrist bersenjatakan senjata dan pistol datang untuk mencoba membersihkan tenda kami. Kami khawatir akan terjadi lebih banyak kekerasan,” kata Khayyat kepada Agence France-Presse (AFP).
Sumber medis mengatakan kepada AFP bahwa kekerasan itu telah menewaskan empat orang dan melukai 51 lainnya, sembilan di antaranya oleh tembakan.
Seorang reporter AFP melihat sisa-sisa kamp anti-pemerintah yang dibakar di Habboubi, tempat kekacauan melanda.
“Pasukan keamanan jelas gagal mencegah gerombolan bersenjata menyerbu Lapangan Habboubi,” tulis Asaad al-Naseri, mantan Sadrist yang tinggal di Nasiriyah.
Pada malam harinya, bentrokan berlanjut dengan seorang koresponden AFP melaporkan bahwa banyak tenda demonstran telah dibakar.
Nasiriyah adalah pusat utama gerakan protes anti-pemerintah yang meletus pada Oktober 2019.
Itu juga tempat salah satu insiden paling berdarah dari pemberontakan hampir satu tahun lalu pada 28 November, ketika lebih dari tiga lusin orang tewas dalam kekerasan terkait protes.
Kematian itu memicu kemarahan di seluruh Irak, termasuk oleh otoritas tertinggi Syiah di negara itu Ayatollah Ali Sistani, dan mendorong pengunduran diri perdana menteri saat itu Adel Abdel Mahdi.(EP)