Indonesiainside.id, Yangon – Protes terhadap pemerintahan militer di Myanmar berlanjut selama tiga hari berturut-turut pada Senin ketika para demonstran menyerukan pemogokan massal secara nasional.
Kantor-kantor pemerintah di ibu kota Nay Pyi Taw terlihat sepi karena sebagian besar karyawan bergabung dalam aksi pemogokan massal.
Aung Htet, seorang jurnalis di ibu kota, mengatakan dia hanya melihat beberapa bus dan penumpang di jalan pada pagi hari, pemandangan yang tidak biasa.
Foto gedung Kementerian Pendidikan yang kosong juga viral di media sosial. Selain itu, pegawai negeri di banyak departemen pemerintah memposting gambar yang mendukung kampanye pemberontakan sipil.
Militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat pada 1 Februari, beberapa jam setelah menahan Presiden Win Myint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, dan anggota senior lainnya dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa.
Suu Kyi menjabat sebagai Penasihat Negara dari 2016 hingga 2021, setelah perjuangan panjang untuk demokrasi di negara yang membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991.
Namun sikap diamnya atas pembantaian Muslim Rohingya dan pembelaan terhadap genosida militer di pengadilan internasional menuai kritik keras di seluruh dunia.
Kudeta terjadi beberapa jam sebelum sesi pertama parlemen baru negara itu digelar setelah pemilihan November lalu di mana partai NLD Suu Kyi memperoleh kemenangan besar.
Militer mengklaim kudeta itu dilakukan karena “kecurangan” dalam pemilihan.
Ribuan pengunjuk rasa memprotes kudeta, meneriakkan slogan, dan menunjukkan poster anti kudeta.
Aksi protes juga dilakukan di bagian lain, termasuk wilayah pertambangan giok utama di negara bagian Kachin utara dan kota perbatasan paling selatan Myeik.
Di Yangon, polisi mengintervensi pengunjuk rasa di kota padat penduduk Hlaing Thar Yar dari berbaris ke pusat kota saat mereka menutup jembatan penghubung dari kedua sisi.
Wai Yan Phyo Moe, seorang mahasiswa dan wakil ketua Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa itu bukan lagi aksi mogok, tetapi sebuah “pemberontakan melawan kediktatoran.”
Aktivis dan pemimpin pemerintah yang digulingkan telah menyerukan rakyat untuk bergabung dalam mogok massa, sementara petugas kesehatan sudah memimpin gerakan pemberontakan sipil melawan kudeta militer.
Sementara itu, penangkapan mantan pejabat dan aktivis terus berlanjut. (ant/msh)