Indonesiainside.id, Jakarta – Sejumlah negara seperti Bangladesh, Filipina, Vietnam, dan Indonesia, mengumumkan rencana untuk membatalkan hingga 62 (gigawatt/GW) atau setara 62.000 MW pembangkit listrik batu bara dari yang sebelumnya sudah direncanakan.
Berdasarkan laporan Boom and Bust 2021, negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara tersebut kini menghadapi proyek pembangkit listrik batu bara terakhirnya. Laporan itu memperkirakan kebijakan tersebut akan menyisakan 25,2 GW kapasitas pembangkit listrik batu bara pada tahap perencanaan prakonstruksi di keempat negara tersebut. Artinya, turun 80% dari 125,5 GW yang sudah direncanakan lima tahun, yakni 2015 lalu.
Salah satu indikasinya, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengumumkan dalam KTT Ambisi Iklim pada Desember 2020. Negaranya memutuskan untuk tidak menggunakan listrik berbasis batu bara. Pernyataan itu menyiratkan pembatalan signifikan di masa mendatang, meskipun perinciannya belum jelas.
Pengumuman tersebut mendapat perhatian karena Asia Selatan dan Asia Tenggara sudah sejak dahulu dipandang sebagai pusat pertumbuhan pembangkit listrik batu bara setelah Tiongkok. Kondisi itu disebabkan oleh turunnya permintaan listrik dan lambatnya pengembangan pembangkit listrik batu bara akibat pandemi Covid-19. Ditambah lagi dengan pengetatan pembiayaan bagi pembangkit listrik batu bara dan menurunnya biaya pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Kondisi ini menutup pintu bagi batu bara di kawasan.
Rencana energi jangka pendek dan jangka panjang Indonesia juga ditangguhkan pada 2020. Setidaknya, 11 proyek pembangkit bernilai US$13,1 miliar mengalami keterlambatan akibat pandemi, dan pembaruan tahunan terhadap rencana energi Indonesia (RUPTL) tak kunjung dirilis.
Keterlambatan ini termasuk lebih dari 8 GW proyek pembangkit listrik batu bara. Pada November 2020, Menteri ESDM, Arifin Tasrif menyatakan akan membatalkan atau menunda hingga 15,5 GW pembangkit listrik yang sudah direncanakan dalam rencana energi berikutnya (RUPTL 2021–2030) meskipun sekitar 2,3 GW dari angka tersebut adalah proyek energi terbarukan.
Indonesia telah melakukan pengoperasian baru 22,7 GW kapasitas pembangkit listrik batu bara sejak 2010, dan masih ada 10,7 GW dalam konstruksi—jumlah yang melampaui semua negara lain, kecuali Tiongkok dan India. Sebagian besar pembangkit listrik batu bara di Indonesia dibangun dengan patokan tarif yang mengunci perusahaan listrik milik negara yakni PLN.
Pembangkit listrik batu bara diproyeksikan lebih mahal daripada biaya untuk membangun pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang baru. Seiring naiknya jumlah pembangkit listrik batu bara, akan bertambah pula jumlah subsidi yang diperlukan untuk pembayaran yang terus meningkat. Demikian menurut lembaga kajian keuangan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
“Pada tahun 2020, kami melihat negara demi negara membuat pengumuman untuk memangkas jumlah tenaga batu bara dalam rencana energi masa depan mereka,” kata Christine Shearer, Direktur Program Batu Bara GEM.
“Kami melihat potensi yang besar PLTU batu bara terakhir dalam perencanaan di sebagian besar dunia.”
Di sisi lain, terjadi kenaikan tajam dalam pengembangan PLTU batu bara di Tiongkok. Dari seluruh pembangkit listrik batu bara di dunia yang baru mulai beroperasi pada 2020, 76% dioperasikan oleh Tiongkok. Berarti naik dari sebelumnya 64% pada 2019, sehingga mendorong kenaikan armada pembangkit listrik batu bara global hingga 12,5 GW pada 2020.
Pada 2021, Kelompok Inspeksi Lingkungan Pusat Tiongkok (China’s Central Environment Inspection Group) mengambil langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Mereka menerbitkan laporan yang mengkritik Administrasi Energi Nasional (National Energy Administration) atas longgarnya penegakan pembatasan pengembangan batu bara.
Hal itu menandakan bahwa pertumbuhan pesat batu bara di Tiongkok mungkin akan tertekan. Selain GEM, laporan ini disusun juga oleh adalah Sierra Club, Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), Cakrawala Risiko Iklim, GreenID, dan Ekosfer. (Aza)