Indonesiainside.id, Jakarta – Para tenaga kesehatan Myanmar kini berada pada posisi dilematis, antara kewajiban merawat pasien dan bekerja untuk pemerintahan junta militer yang melakukan aksi brutal terhadap rakyatnya sendiri.
Moe berusia 53 tahun dan kini mengidap kanker payudara stadium tiga. Dia menjalani perawatan terapi penyinaran setiap tiga pekan sekali di Rumah Sakit Umum Mandalay milik pemerintah di Myanmar utara.
Namun, ketika militer melengserkan pemerintahan sipil Myanmar yang terpilih melalui pemilu demokratis pada 1 Februari, rumah sakit tersebut mendadak tutup.
Para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain melangkah ke luar dari fasilitas itu sebagai aksi protes. Sampai saat ini mereka belum kembali ke rumah sakit tersebut.
Akibatnya, perawatan Moe terbengkalai. Dia tidak mampu membayar biaya sekitar US$700 (Rp10,1 juta) untuk menuntaskan terapi penyinaran di rumah sakit swasta.
Tanpa perawatan itu, dia meyakini umurnya tersisa satu tahun lagi.
Walau demikian, Moe tidak menyalahkan para dokter. “Ini salah militer,” katanya seperti dilansir laman BBC News Indonesia, Selasa(27/4).
“Kalaupun saya meninggal akibat kanker, saya menerimanya. Rakyat Myanmar berhak mendapatkan demokrasi.”
‘Nyaris kolaps’
Sistem layanan kesehatan adalah salah satu sektor paling terdampak parah pascakudeta pada 1 Februari. Saat itu militer mengambil alih kekuasaan yang kemudian ditanggapi sebagian rakyat dengan menggelar rangkaian demonstrasi.
Para peserta aksi-aksi tersebut beragam, termasuk ribuan dokter. Mereka dan sejumlah pegawai negeri sipil turut ambil bagian dalam gerakan pembangkangan sipil, yaitu mogok bekerja di bawah junta militer.
Mayoritas dari 54 juta penduduk Myanmar bergantung pada sistem layanan kesehatan umum Myanmar yang mencakup sekitar 80% dari semua rumah sakit dan klinik di negara itu melalui sistem subsidi.
Sehingga ketika ribuan dokter ambil bagian dalam mogok nasional di tengah pandemi global, sistem itu tiba-tiba lenyap.
“Situasinya kelam,” kata Dr Mitchell Sangma, yang berada di lapangan untuk organisasi Dokter Lintas Perbatasan (MSF) di Kota Yangon.
“Sistem kesehatan umum nyaris kolaps,” tambahnya.
Akan tetapi, para dokter merasa hanya punya sedikit pilihan.
Militer mengincar para tenaga kesehatan yang ikut aksi mogok nasional.
“Selama junta militer memegang kekuasaan, saya tidak akan kembali bekerja,” cetus Kyi Kyi, seorang dokter di Mandalay yang telah mogok kerja selama hampir tiga bulan.
“Saya tidak ingin mengakui kewenangan mereka dalam bentuk apapun,” lanjutnya.
Selama hampir tiga pekan pertama setelah kudeta, Kyi Kyi menawarkan pemeriksaan gratis di rumah sakit swasta.
Namun, dia segera menyadari bahwa tindakannya terlalu berbahaya. “Kami mulai menyaksikan tentara ditempatkan di sekitar rumah sakit, menunggu kedatangan kami.”
Sejumlah laporan menyebutkan militer mengincar para tenaga kesehatan yang mogok dengan menggerebek fasilitas medis gratis. Mereka menangkap, menahan, dan dalam beberapa kasus, memukuli para tenaga kesehatan.
“Kami harus sangat hati-hati,” ujar Kyi Kyi.
“Setelah kudeta, kami semua dipaksa meninggalkan akomodasi milik pemerintah dekat rumah sakit. Jadi sekarang saya tinggal bersama beberapa kawan di tempat lain di kota. Kami sangat takut,” imbuhnya.
Beberapa layanan kesehatan umum yang masih buka telah dijaga oleh tentara.(Red/BBC)