Indonesiainside.id, Ankara–Turki pada Ahad (27/6) mengumumkan embargo Covid-19 akan dilonggarkan mulai 1 Juli sebagai bagian dari upaya memulihkan kehidupan normal secara bertahap. Menurut pernyataan Kementerian Dalam Negeri, jam malam benar-benar dicabut dan larangan perjalanan antar kota dicabut mulai Kamis, lapor Anadolu Agency (AA).
Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan Turki akan lebih lanjut melonggarkan pembatasan yang diberlakukan untuk mengekang penyebaran virus corona setelah jumlah kasus harian turun menjadi sekitar 5.000. Setelah rapat kabinet, Erdogan mengumumkan pencabutan penguncian mulai 1 Juli yang telah diberlakukan pada hari Minggu dan jam malam setelah 1900 GMT pada hari kerja.
Turki mulai melonggarkan pembatasan dalam beberapa pekan terakhir, membatasi penguncian hingga hari Minggu dan membuka restoran untuk sejumlah tamu, setelah kasus harian mulai turun dari puncaknya di atas 60.000 pada bulan April. Semua kantor dan bioskop dibuka kembali, sementara kafe dan restoran diizinkan beroperasi dengan pengunjung tak terbatas, lapir TrTWorld.
Pembatasan fasilitas akomodasi juga akan dicabut dengan kepatuhan terhadap kebersihan, pemakaian masker dan penerapan jarak sosial. Selain diperbolehkannya upacara pernikahan, juga diberikan keleluasaan acara seperti konser, festival, dan youth camp asalkan mematuhi aturan yang ditetapkan.
Taman, area piknik, dan tempat perkemahan akan dibuka kembali untuk umum. Karantina wajib selama 14 hari bagi wisatawan dari Bangladesh, Brasil, Afrika Selatan, India, Nepal, dan Sri Lanka akan berakhir.
Sedangkan masa karantina wajib bagi wisatawan asal Afghanistan dan Pakistan dikurangi menjadi 10 hari dibandingkan 14 hari sebelumnya. Pada hari Senin, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan Turki akan mengakhiri jam malam pada 1 Juli menyusul penurunan kasus Covid-19 secara nasional.
Sebelumnya pada 1 Juni, negara itu memotong beberapa tindakan menyusul perintah pembatasan pergerakan 17 hari yang ketat. Sejak Desember 2019, pandemi Covid-19 telah merenggut lebih dari 3,9 juta jiwa di 192 negara dan wilayah, dengan lebih dari 180,8 juta kasus dilaporkan di seluruh dunia, menurut Universitas Johns Hopkins. (NE)