Indonesiainside.id, Jakarta – Seorang mahasiswa kedokteran, Enya Egbe kabur dari kelas anatomi sambil menangis setelah terkejut melihat mayat yang akan ia bedah.
Pria berusia 26 tahun itu masih ingat dengan jelas bahwa Kamis sore tujuh tahun lalu di Universitas Calabar Nigeria, dia berkumpul dengan rekan-rekan mahasiswa di sekeliling tiga meja dengan mayat diletakkan di masing-masing meja.
Beberapa menit kemudian, dia berteriak dan berlari. Tubuh yang akan dibedah kelompoknya adalah mayat Divine, teman akrabnya yang telah berteman dengannya selama tujuh tahun terakhir.
“Kami biasa pergi clubbing bersama,” ujarnya kepada BBC News.
“Ada dua lubang peluru di dada sebelah kanannya.”
Oyifo Ana adalah salah satu mahasiswa yang mengejar Egbe dan menemukannya tengah terisak di luar ruangan kelas.
“Sebagian besar mayat yang kami gunakan di sekolah ada peluru di tubuhnya. Saya merasa sangat sedih ketika saya menyadari bahwa beberapa dari mereka mungkin bukan penjahat sungguhan,” tutur Ana.
Dia menambahkan bahwa pada suatu pagi dia melihat sebuah mobil polisi penuh dengan mayat-mayat berlumuran darah di sekolah kedokteran mereka, yang memiliki kamar mayat.
Egbe kemudian mengirim pesan ke keluarga Divine, yang ternyata telah mencari kerabatnya dari kantor polisi satu ke yang lain, setelah mendapat informasi bahwa Divine dan dua temannya ditangkap oleh petugas keamanan dalam perjalan pulang dari bepergian di malam hari.
Keluarga Divine akhirnya berhasil mengeklaim jenazahnya.
Apa yang dihadapi Egbe menggarisbawahi dua hal, yakni kurangnya mayat yang tersedia bagi mahasiswa kedokteran di Nigera dan apa yang terjadi terhadap korban kekerasan polisi.
Sejak abad ke-16 hingga abad ke-19, undang-undang di Inggris mengatur agar mayat penjahat yang dieksekusi diberikan ke sekolah kedokteran – hukuman yang juga bertujuan untuk memajukan ilmu pengetahuan.
Di Nigeria, undang-undang saat ini menyerahkan “mayat yang tidak diklaim” di kamar mayat pemerintah ke sekolah kedokteran.
Negara juga dapat mengambil jenazah penjahat yang dieksekusi, meskipun eksekusi terakhir terjadi pada 2007.
Lebih dari 90% mayat yang digunakan di sekolah kedokteran Nigeria adalah “penjahat yang dibunuh dengan cara ditembak”, menurut penelitian yang diterbitkan di jurnal medis Clinical Anatomy pada 2011.
Kenyataannya, ini berarti mereka adalah tersangka yang ditembak mati oleh aparat keamanan.
Perkiraan usia mereka antara 20 dan 40 tahun, 95% di antaranya adalah laki-laki, dan tiga dari empat orang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah.
“Tidak ada yang berubah 10 tahun kemudian,” kata Emeka Anyanwu, seorang profesor anatomi di Universitas Nigeria, yang ikut menulis penelitian tersebut.
Tahun lalu, pemerintah Nigeria membentuk panel yudisial di berbagai negara bagian untuk menyelidiki tuduhan kebrutalan polisi.
Ini sebagai tanggapan atas protes #EndSars yang dipicu oleh video viral seorang pemuda yang diduga ditembak mati oleh Pasukan Khusus Anti-Perampokan (SARS) milik polisi di negara bagian selatan Delta.
Banyak dari mereka yang bersaksi di depan panel berbicara tentang kerabat yang ditangkap oleh aparat keamanan dan tidak pernah terlihat lagi.
Dalam banyak kasus, polisi membela diri dengan mengatakan bahwa mereka yang hilang adalah perampok bersenjata yang tewas dalam baku tembak.
Sementara juru bicara polisi Frank Mba mengatakan kepada saya bahwa dia tidak mengetahui adanya kasus di mana polisi membuang mayat ke laboratorium anatomi atau kamar mayat.(BBC/Nto)