Indonesiainside.id, New York – Penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan menyusul upaya evakuasi yang diwarnai kekerasan, menjadi perdebatan panas mengenai kelangsungan kampanye militer selama 20 tahun.
Perang terpanjang dalam sejarah Amerika merugikan pembayar pajak AS sebesar USD 2,3 triliun, selain juga mengakibatkan kematian 2.324 personel militer AS, 4.007 kontraktor AS, dan 46.319 warga sipil Afghanistan, sesuai perkiraan Proyek Biaya Perang dari Brown University.
Menurut perincian baru tentang pengeluaran perang AS, Kongres memberikan USD 2,02 triliun kepada lima perusahaan senjata Amerika teratas yakni Raytheon, Lockheed Martin, General Dynamics, Boeing dan Northrop Grumman – antara tahun 2001 dan 2021.
Dan antara 2002 dan 2020, pendanaan federal untuk lima perusahaan senjata itu tumbuh sebesar 188 persen .
Stephen Semler, salah satu pendiri Institut Reformasi Kebijakan Keamanan, dalam sebuah laporan mengatakan lima kontraktor militer “memakan sekitar seperlima dari semua dolar kontrak federal dan sekitar sepertiga dari semua dolar kontrak Departemen Pertahanan (DOD) setiap tahun.”
Open Secrets, sebuah kelompok riset yang berbasis di AS yang melacak uang dalam politik AS, menunjukkan bahwa lima perusahaan ini menghabiskan lebih dari USD 1,1 miliar untuk melobi antara tahun 2001 dan 2021, ketika AS menginvasi Afghanistan dan ketika meninggalkan Afghanistan dalam kekacauan.
Dari uang ‘pelicin’ itu, kelima perusahaan itu mendulang USD 2,02 triliun. Luar biasa dan fantastis.
Artinya, setiap dolar yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan ini akhirnya mendapatkan USD 1.813 dalam kontrak Pentagon, menurut sebuah laporan di Responsible Statecraft.
Sebuah artikel Februari yang diterbitkan bersama oleh Responsible Statecraft dan The Daily Beast menunjukkan bagaimana tekanan diberikan pada pembuat kebijakan AS untuk memperpanjang batas waktu penarikan dari Afghanistan.
“Ini adalah contoh bagus dari rubah yang menjaga kandang ayam,” kata Mandy Smithberger, direktur Pusat Informasi Pertahanan di Proyek Pengawasan Pemerintah, seperti dikutip dalam laporan tersebut.
“Salah satu masalah dalam pembuatan kebijakan luar negeri kami adalah bahwa semua saran sangat didominasi oleh orang-orang dengan pengaruh uangnya untuk melanjutkan perang.”
Kontrak federal ini menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi para pemasok persenjataan.
Jon Schwarz dalam sebuah artikel yang diterbitkan di The Intercept bulan lalu mengatakan saham peruaahaan pertahanan mengungguli pasar saham secara keseluruhan sebesar 58 persen selama perang 20 tahun di Afghanistan.(Nto)