Indonesiainside.id, Jakarta – Komisi Hak Asasi Manusia Islam (IHRC), sebuah LSM yang berkampanye untuk keadilan bagi semua orang, mengatakan bahwa Kantor Dalam Negeri Inggris menolak suaka dari mahasiswa rabbi Yahudi dari Israel yang secara vokal mendukung perjuangan hak-hak Palestina, dan sangat menentang Zionisme dan apartheid Israek atas dasar agama dan politik.
Menurut IHRC, siswa tersebut terpaksa melarikan diri ke Inggris setelah dia ditahan dan diserang secara fisik oleh otoritas Israel pada beberapa kesempatan karena memprotes secara damai kebijakan Israel.
Aktivis Israel itu telah mengajukan banding atas keputusan tersebut ke Pengadilan Tinggi, dengan mengatakan rezim apartheid Israel menganiaya anti-Zionis seperti dia, dan bahwa dia akan dikenakan wajib militer menjadi militer Israel yang melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
IHRC telah meluncurkan kampanye crowdfunding, mendesak masyarakat untuk mendukung klaim kliennya untuk mendapatkan suaka.
“Kasus ini berpotensi menjadi preseden hukum yang penting, tidak hanya bagi warga Yahudi Israel yang menolak wajib militer, tetapi juga bagi warga Palestina yang ditindas oleh rezim apartheid Israel,” kata IHRC dilansir PressTV.
Beberapa kelompok hak asasi telah menyimpulkan bahwa Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan apartheid terhadap Palestina.
Awal tahun ini, B’Tselem, sebuah kelompok advokasi Israel, mengatakan Israel adalah “rezim apartheid” yang secara sistematis menindas Palestina melalui pendudukan militer dan undang-undang rasis.
“Israel juga menganiaya dan mencoba membungkam orang-orang Yahudi Israel yang, seperti klien kami, menentang rezim apartheidnya,” kata IHRC.
Israel menduduki Yerusalem Timur al-Quds, Tepi Barat, dan Jalur Gaza—wilayah yang diinginkan Palestina untuk negara mereka di masa depan—selama perang enam hari Arab-Israel pada tahun 1967. Israel kemudian harus menarik diri dari Gaza.
Sekitar 700.000 orang Israel tinggal di lebih dari 230 pemukiman ilegal yang dibangun di Tepi Barat dan Yerusalem Timur al-Quds sejak saat itu. Komunitas internasional memandang permukiman itu ilegal menurut hukum internasional, tetapi tidak berbuat banyak untuk menekan rezim Israel untuk membekukan atau membalikkan kebijakannya. (Nto)