Indonesiainside.id, Jenewa – Para hakim Pengadilan Turkey Tribunal di Jenewa, Swiss, mengumumkan putusan mereka atas tuduhan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Turki, Jumat(24/9). Mereka mengatakan bahwa penyiksaan dan penculikan yang dilakukan oleh pejabat negara Turki sejak Juli 2016 dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hakim ketua Françoise Barones Tulkens menyatakan bahwa putusan itu tidak mengikat secara hukum tetapi dapat berfungsi sebagai sumber moral untuk meningkatkan kesadaran bagi dunia.
“Pengadilan menerima laporan yang kredibel tentang adanya kekerasan, penyiksaan, dan bahwa penculikan seseorang itu sama halnya dengan penghilangan paksa,” kata Tulkens, seperti dilansir stockholmcf.org, Sabtu (25/9).
Berkenaan dengan kebebasan pers, Tulkens mengatakan pengadilan juga mendapat adanya laporan para jurnalis yang dipenjara dan menerima kekerasan fisik dan mental yang berulang. Pengadilan juga menyimpulkan bahwa Turki tidak memenuhi kewajibannya di bawah hukum internasional untuk memastikan akses publik terhadap keadilan.
“Memperhatikan bahwa impunitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia adalah praktik yang mengakar dalam sistem peradilan pidana, pengadilan menggarisbawahi bahwa para korban pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan trauma oleh kurangnya akses ke keadilan,” lanjutnya.
Majelis hakim Turkey Tribunal termasuk tokoh-tokoh terkemuka seperti Prof. Em. Dr. Françoise Barones Tulkens, mantan wakil ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECtHR); Dr. Johann van der Westhuizen, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan; dan Prof.Em. Dr. Giorgio Malinverni dan Prof. Dr. Ledi Bianku yang menjabat sebagai juri di ECtHR.
Majelis hakim sejauh ini telah mendengarkan keterangan saksi-saksi yang menjadi korban pelanggaran HAM. Beberapa pakar dan organisasi hak asasi manusia terkemuka juga telah memberikan laporan kepada Turkey Tribunal.
Beberapa pakar dan organisasi hak asasi manusia terkemuka memberikan laporan kepada hakim. Kelompok ini terdiri dari Eric Sottas (Swiss), mantan sekretaris jenderal Organisasi Dunia melawan Penyiksaan (bekerja sama dengan Prof. Dr. Johan Vande Lanotte); Yves Haeck (Belgia), profesor di Universitas Ghent dan Emre Turkut (Turki); The Lawyers Collective (Turki); Asosiasi Bar Ankara (Turki) dan Johan Heymans, seorang pengacara hak asasi manusia; Philippe Leruth (Belgia), mantan presiden Federasi Jurnalis Internasional.
Di antara pemerhati pengadilan adalah Marie Arena, seorang politisi Belgia dan ketua Subkomite Parlemen Eropa tentang Hak Asasi Manusia; Kathleen Van Brempt, politisi Belgia lainnya dan Anggota Parlemen Eropa (MEP); Filipe Marques, presiden Hakim Eropa untuk Demokrasi dan Kebebasan (MEDEL).
Selama sesi pengadilan minggu ini, hakim mendengar kesaksian Mehmet Alp, seorang guru yang diculik dan menerima intimidasi dan kekerasan oleh pasukan keamanan di Turki; kemudian Erhan Doğan, guru lain yang disiksa dalam tahanan polisi; Mustafa zben, diculik oleh intelijen Turki; Eren Keskin, seorang aktivis hak asasi manusia yang ditangkap dan dipenjarakan karena aktivitasnya; dan Mesut Kaçmaz, yang diculik oleh intelijen Turki. Juga saksi lainnya termasuk wartawan yang tinggal di pengasingan Cevheri Güven dan Meltem Oktay, mantan jaksa Hasan Dursun dan mantan hakim Süleyman Bozoğlu.
Pemerintah Turki tidak menggunakan kesempatan yang diberikan untuk menjawab semua tuduhan ini.
Sementara itu, Johan Vande Lanotte, profesor hukum di Universitas Ghent, yang mengoordinasikan inisiatif tersebut, menyebutkan tidak efektifnya metode konvensional untuk meghukum pelanggaran hak asasi manusia di Turki membuat mereka memunculkan ide untuk mendirikan sebuah pengadilan sendiri.
Lanotte mengatakan keputusan badan-badan PBB, lembaga-lembaga Uni Eropa dan putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa tidak menghasilkan perubahan positif sehubungan dengan perilaku otoritas Turki.
Turki telah mengalami krisis hak asasi manusia yang mendalam dalam beberapa tahun terakhir, dan Presiden Recep Tayyip Erdoğan dengan tujuan mengkonsolidasikan pemerintahannya sendiri, telah secara sistematis merusak pilar-pilar fundamental demokrasi Turki yang sudah tidak sempurna.
Beberapa pakar juga menyoroti perlakuan Turki terhadap kelompok berbasis agama Gulen sebagai genosida. Gerakan Gülen dituduh oleh pemerintah Turki dan Presiden Erdogan mendalangi upaya kudeta pada 15 Juli 2016.
“Lebih dari 130.000 orang telah diberhentikan dari pekerjaan pegawai negeri dan kehilangan mata pencahariannya dan keluarga mereka. Lebih dari 282.000 orang dari segala usia, karena kegiatan sehari-hari mereka, yang merupakan tindakan non-kriminal menurut hukum dan bagian dari rutinitas normal mereka, telah ditahan, dan lebih dari 600.000 telah menjadi subyek penyelidikan. Setidaknya 77.000 orang telah dipenjara,” kata Kenec dalam wawancara bulan Desember dengan Turkish Minute.
Puluhan pengikut gerakan Gulen juga terpaksa meninggalkan Turki untuk menghindari tindakan keras pemerintah menyusul tuduhan upaya kudeta. Beberapa dari orang-orang ini harus melakukan perjalanan ilegal dan berisiko dengan sampan ke Yunani karena paspor mereka telah dicabut oleh pemerintah. (Nto)