Indonesiainside.id, Jakarta – Amerika dinilai memainkan permainan berbahaya dengan menempatkan dirinya di publik pada kebijakan membela Taiwan dari China. Padahal, Amerika tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya jika China benar-benar mencaplok Taiwan.
Hal ini disampaikan Scott Ritter mantan perwira intelijen Korps Marinir AS dan penulis ‘ Scorpion King : America’s Suicidal Embrace of Nuclear Weapons from FDR to Trump.
“Kalau China menyerang, Taiwan memang akan melawan, tetapi kenyataannya adalah mereka akan jatuh dalam waktu kurang dari seminggu,” tegas Scott Ritter.
Analisa ini disampaikannya menyusul meningkatnya ketegangan baru-baru ini antara Beijing dan Taipei. Presiden China Xi Jinping berjanji pada hari Sabtu untuk mengejar “penyatuan kembali” dengan Taiwan dengan cara damai dan memperingatkan negara-negara asing tentang campur tangan dalam masalah ini.
“Selama beberapa tahun terakhir, angkatan udara Republik Rakyat Tiongkok telah menerbangkan jet tempurnya ke Zona Identifikasi Pertahanan Udara Taiwan, atau ADIZ, sebagai sarana untuk mengirim sinyal ke Taipei bahwa Tiongkok tidak mengakui klaim kemerdekaannya dan, setiap gagasan tentang ADIZ adalah batal demi hukum,” ujar Ritter dilansir RT.com, Ahad(10/10).
Insiden ini telah meningkat selama bertahun-tahun, baru-baru ini mencapai puncaknya. China, menurut Taipei, menerbangkan 38 pesawat dalam dua gelombang ke ADIZ Taiwan pada 1 Oktober, 39 lagi pada 2 Oktober (juga dalam dua gelombang), dan 16 hari berikutnya.
“Taiwan di atas kertas mungkin punya senjata canggih dari AS tapi mereka tidak akan mampu meladeni skala pertempuran China. Dan, AS hanya akan jadi penonton saja,” katanya lagi.
Sebagai tanggapan, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengeluarkan pernyataan . “ Amerika Serikat sangat prihatin dengan aktivitas militer provokatif Republik Rakyat China di dekat Taiwan, yang mengganggu stabilitas, berisiko salah perhitungan, dan merusak perdamaian dan stabilitas regional. Kami mendesak Beijing untuk menghentikan tekanan dan paksaan militer, diplomatik, dan ekonominya terhadap Taiwan. ”
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying lantang menjawab, “Taiwan adalah milik China dan AS tidak dalam posisi untuk membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab. Pernyataan yang relevan dari pihak AS secara serius melanggar prinsip satu-China dan ketentuan dari tiga komunike bersama China-AS dan mengirimkan sinyal yang sangat salah dan tidak bertanggung jawab .”
Presiden China Xi Jinping juga menyebut kemerdekaan Taiwan mendorong ‘bahaya tersembunyi yang serius’ & menjanjikan ‘penyatuan kembali secara damai’ dengan pulau yang diperintah sendiri.
Pada tanggal 4 Oktober, Taipei mengatakan bahwa China mengirim gelombang pesawat terbesarnya ke ADIZ Taiwan, sekitar 56 , termasuk 36 jet tempur J-16 dan Su-30, 12 pembom H-6 berkemampuan nuklir, 2 Y-8 pesawat anti-kapal selam (ASW) dan dua pesawat peringatan dini dan kontrol udara KJ-500 (AEW&C).
Khawatir dengan perkembangan ini, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menyatakan bahwa “ Taiwan tidak mencari konfrontasi militer. Ia berharap untuk hidup berdampingan secara damai, stabil, dapat diprediksi, dan saling menguntungkan dengan tetangganya. Tetapi Taiwan juga akan melakukan apa pun untuk mempertahankan kebebasan dan cara hidup demokratisnya. ”
‘Apa pun yang diperlukan’, bagaimanapun, adalah konsep tak terbatas yang didukung oleh kenyataan terbatas bahwa Taiwan memiliki militer sekitar 165.000 tentara tugas aktif dan sekitar 1,6 juta tentara cadangan yang telah dilengkapi dengan miliaran dolar senjata militer canggih buatan Amerika.
“Sementara militer Taiwan mungkin terlihat bagus di atas kertas, tapi mereka tidak siap menghadapi serangan skala penuh yang akan diarahkan China, jika memutuskan untuk melakukan invasi,” tambah Ritter.
Seperti yang diketahui dunia apa yang terjadi di Afghanistan, angka yang mengesankan di atas kertas tidak secara otomatis menjadi kekuatan tempur yang hebat di lapangan. Buktinya mereka dalam waktu singkat tunduk ke Taliban.
“Dan, China pasti akan memberikan pertempuran dalam skala beberapa kali lipat di atas apa yang bisa dibayangkan oleh Taliban,” tegasnya.
Jika China Menginvasi Taiwan
Jika China memutuskan untuk menyerang Taiwan, asumsinya adalah bahwa China telah melakukan penilaian berbasis intelijen yang ekstensif tentang peluang kemenangannya.
China juga menghitung apa reaksi dunia, bukan hanya AS saja. China juga hampir pasti melakukan tindakan dan strategi yang akan menangkis kecaman dari sebagian besar negara di dunia.
Menurut Scott Ritter, militer China juga akan menargetkan dengan presisi titik-titik garnisun dan lokasi penempatan setiap unit tempur darat utama Taiwan. Itu termasuk dengan setiap pesawat berkemampuan tempur dalam inventaris Taiwan.
Dan akan mengidentifikasi pangkalan logistik yang digunakan oleh Taiwan untuk mempertahankan pasukan tempur di garis depan. Semua ini akan menjadi sasaran pemboman sebelum serangan utama oleh artileri udara dan balistik China.
“Setiap unit militer Taiwan yang masih selamat kemudian akan dihadapkan dengan tugas berat untuk menangkis invasi besar-besaran yang kemungkinan akan terdiri dari kombinasi pasukan amfibi dan serangan udara,” katanya.
Dengan asumsi cukup banyak unit yang selamat dari pemboman pra-serangan utama China, pasukan Taiwan akan menyusun pertahanan kembali. Namun mereka akan dengan cepat terdesak dan meninggalkan persediaan amunisi, bahan bakar, dan makanan yang ada di tangan mereka.
Unit yang terputus dari pasokan akan mulai menyerah, dan gagasan itu akan menular ke semua tentaranya.
“Kantong-kantong pasukan Taiwan bisa bertahan untuk bertarung selama beberapa waktu, tetapi kenyataannya adalah Taiwan akan jatuh dalam waktu kurang dari seminggu,” tegas Ritter.
Sementara AS mungkin akan membuat gelombang besar dengan mengirimkan angkatan lautnya melalui Selat Taiwan, namun manuver seperti itu akan sama saja dengan bunuh diri di saat konflik.
Angkatan Laut AS menurut Ritter justru akan diturunkan untuk berada di sebelah timur Taiwan, di luar jangkauan kemampuan rudal balistik mematikan China. Dan hanya meluncurkan pesawat yang akan memiliki kemampuan tempur terbatas mengingat keterbatasan bahan bakar dan juga kondisi yang berat.
Hal yang sama berlaku untuk Angkatan Udara AS. Tetapi faktanya nanti, menurut Scott Ritter, setiap pesawat yang dikirim AS untuk membantu Taiwan dari invasi China namun tanpa adanya armada pengganti yang tersedia dalam waktu cepat maka tidak akan dapat mengubah arah pertempuran di Taiwan. Semua menjadi sia-sia.
Hal ini karena China dengan kekuatan militer yang dimiliki saat ini dan dikabarkan melebihi militer Amerika, dipastikan tidak akan tanggung-tanggung menggempur Taiwan. Jika, ‘provinsi’ itu membangkang dari keinginan Beijing.
Hal terbaik yang bisa diharapkan AS ketika membela Taiwan adalah dengan memperkuat Korea Selatan. Rencana perang ini dikenal sebagai OPLAN-5027 . Salah satu strateginya mengalokasikan 690.000 tentara, 160 kapal, dan 1.600 pesawat untuk ditempatkan dari AS ke Korea Selatan dalam waktu 90 hari setelah perang pecah di semenanjung Korea. Mereka bisa dimobilisasikan untuk membantu Taiwan. Tapi itu pun tidak menjamin akan mampu mengalahkan China. (Nto)