Hak Asasi Manusia merupakan perwujudan dari hak dasar manusia di seluruh negeri. Terjaminnya pemenuhan atas hak dasar rakyat di dalam suatu negeri merupakan tanggung jawab penuh dari negara.
Indonesiainside.id, Jakarta — Dalam rangka perjuangan untuk penegakan HAM di dunia, terdapat satu momentum bersejarah yaitu deklarasi Universal Declaration of Human Right pada 10 Desember 1948. Deklarasi Universal HAM (DUHAM) ini berisi kewajiban bagi setiap negara untuk memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar bagi warga negaranya.
Di Indonesia DUHAM ini telah diratifikasi dengan diterbitkannya UU No.11 Tahun 2005 tetang HAM. Maka, Negara melalui pemerintahan RI wajib menghormati, melindungi serta memberikan HAM untuk hidup, merdeka, bebas dan bekerja bagi seluruh rakyat Indonesa.
Di Kabupaten Bulukumba, persoalan Hak Asasi Manusia masih sering menjadi ancaman bagi hajat hidup masyarakat Bulukumba, terutama dalam aspek ekonomi, sosial, hukum dan kebudayaan. Sampai saat ini masyarakat Adat Kajang masih dengan semangat memperjuangkan tanah ulayat Adat Ammatoa Kajang yang dirampas oleh PT. PP Lonsum.
Masyarakat adat Kajang juga menentang praktek kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang menuduh masyarakat adat Kajang melakukan penyerobotan lahan yang diyakini dan bisa dibuktikan sebagai tanah ulayat masyarakat adat Kajang.
Berangkat dari latar belakang tersebut, sejumlah masyarakat menggelar aksi atas penuntutan HAM yang selama ini dirasa tak proporsional. Koordinator Aksi dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Bulukumba Rudi Tahas mengatakan, masyarakat Bontobahari sejak dulu memperjuangkan tanah masyarakat Bontobahari yang hari ini dirampas oleh Taman Hutan Raya (Tahura).
Begitu juga dengan rencana pembangunan Terminal Aspal Curah di Kecamatan Bonto Bahari pun mendapat penolakan keras oleh nelayan di dua kecamatan, yaitu Bonto Bahari dan Kecamatan Ujung Loe.
“Terminal Aspal Curah mengancam kehidupan 1.299 jiwa petani rumput laut dan keluarganya. Meskipun mendapat penolakan keras masyarakat, namun yang kami sayangkan kenapa pemerintah Kabupaten Bulukumba ngotot melanjutkan proses pembangunan proyek tersebut,” ujarnya di depan Kantor Bupati Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (10/12).
Ia menduga Pemkab Bulukumba memilih mengorbankan masyarakat Bulukumba dan lebih memilih keberpihakan pada investasi. Sebagai informasi, masyarakat Bulukumba dengan bertani rumput laut, masyarakat di dua kecatamatan tersebut terbukti mampu meningkatkan taraf penghidupan mereka.
“Masyarakat mampu menghasilkan total 30 milyar rupiah dalam setahun dari hasil bertani rumput laut,” katanya.
Melalui Momentum Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Front Perjuangan Rakyat (FPR) Bulukumba menuntut beberapa hal. Di antaranya, kembalikan Tanah Ulayat Adat Ammatos Kajang, hentikan kriminalisasi 14 aktivis petani dan aktivis adat, kembalikan tanah masyarakat yang masuk dalam kawasan Tahura, dan menolak Pembangunan Terminal Aspal Curah di Kelurahan Sapolohe Kecamatan Bonto Bahari
“Hentikan kriminalisasi terhadap masyrakat penggugat, wujudkan reforma agraria sejati dan bangun industri nasional,” tandasnya. (Ahmad Z.R)