Oleh: Suandri Ansah |
Para wartawan dilindungi undang-undang dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Diduga, ada wartawan yang jadi korban kekerasan dalam acara Munajat 212.
Indoenesiainside.id, Jakarta — Kekerasan terhadap wartawan apa pun alasannya tidak bisa dibenarkan. Risiko inilah yang sering dialami jurnalis saat meliput berbagai aksi massa, atau membongkar berbagai pelanggaran hukum terutama yang dilakukan para pejabat.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan bahwa bahwa jurnalis berhak-atas perlindungan hukum melakukan tugas dan fungsi jurnalis sebagaimana mestinya. Seperti diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Secara hukum, jurnalis mendapatkan perlindungan hukum saat menjalankan tugasnya. Dan ketika ada yang menghalangi tugas tersebut konsekuensi hukumnya ada pada pidana pasal 18 UU Pers,” kata Ade kepada Indonesiainiside.id.
Sebagaimana dijelaskan pada pasal 18 UU Pers adalah pelaku bisa dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).
Kasus kekerasan, kata Ade, dialami wartawan saat peliputan malam Munajat 212 pada Kamis lalu (21/2). Namun, kejadiannya bukan di arena utama acara saat sejumlah tokoh menyampaikan pidatonya.
Peristiwa bermula saat seorang copet ditangkap sehingga memicu keributan untuk mengalihkan perhatian massa. Namun, para wartawan yang ingin merekam kejadian itu dihalangi-halangi oleh orang berpakaian putih, yang diduga dari Front Pembela Islam (FPI), bahkan mereka memaksa untuk menghapus rekaman itu.
Ketua panitia Malam Munajat 212, Habib Idrus Al Habsyi membantah telah terjadi tindakan intimidatif kepada jurnalis selama acara berlangsung. “Tidak ada laporan dari personil panitia kepada saya selaku Ketua Panitia tentang adanya peristiwa yang digembar gemborkan,” kata Idrus dalam pesan klarifikasi yang diterima Indonesiainside.id.
Idrus mengatakan, peristiwa yang disebut sebut sebagai kekerasan terhadap jurnalis dan dikait-kaitkan dengan FPI merupakan peristiwa yang bersifat insidental yang terlepas dari pakem pelaksanaan keseluruhan panitia.
“Dalam S.O.P panitia maupun Laskar Pembela Islam yang merupakan tim pengamanan yang ditunjuk oleh panitia, tidak ada perintah atau anjuran untuk bersikap tegas apalagi kasar terhadap rekan jurnalis,” kata Idrus.
Habib Idrus pun berpandangan kasus ini sengaja dibesar-besarkan. “Tujuannya untuk memframing kegiatan munajat dan FPI sebagai suatu peristiwa yang negatif,” tegasnya.
Namun, untuk mengusut tuntas kasus ini, Ade Wahyudin dari LBH Pers pun meminta kepolisian untuk segera bertindak. “Karena jika dibiarkan, kekerasan terhadap jurnalis akan semakin besar,” katanya.
Tindakan polisi di tahun politik ini tentu tidak mudah. Karena, dicurigai sebagai alat politik. Tapi, kesalahan prosedur pengamanan yang dilakukan oleh oknum tentu harus dibuktikan. Begitu pula, wartawan yang jadi korban pun harus mampu menunjukan bukti yang kuat.
Kasus ini apakah akan berlanjut secara hukum atau polisi tak memprioritaskannya. Maklum, di tahun politik. Kasus hukum pun bisa menjadi blunder politik. (Kbb)