Oleh: Suandri Ansah |
Di tahun politik, doa dan puisi menjadi alat untuk kampanye. Tentu, hanya Alloh yang Maha Tahu siapa yang terbaik dengan doa-doanya.
Indonesiainside.id, Jakarta — Munajat 212 yang digelar Kamis lalu (21/2) di Monumen Nasional, Jakarta masih menyisahkan kontroversi. Bermula saat Wakil Ketua Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Neno Warisman ‘menyenandungkan doa’ bertajuk “Puisi Munajat 212”.
Neno membacakan bait bait puisi yang berisi doa di hadapan jamaah. “Dan jangan, jangan kau tinggalkan kami dan menangkan kami, karena jika engkau tidak menangkan, kami khawatir ya Allah, kami khawatir ya Allah tak ada lagi yang menyembahmu”
Demikian petikan doa pelantun tembang “Nada Kasih” ini. Sebagai mantan artis dan penyanyi, Neno tentu piawai mengetuk emosi penontonnya. Termasuk pula mengaduk-aduk emosi pendukung calon presiden pada Pilpres 2019.
Jubir TKN, Lena Maryana menyayangkan do’a Neno seolah memberi kesan hanya pendukung calon presiden tertentu saja yang beribadah, sementara yang lain berpotensi memecah belah masyarakat.
“Seharusnya sebagai figur publik, Neno menyampaikan do’a yang menyejukkan. Mendo’akan bangsa agar terus maju, kuat, tidak terpecah belah, dan bukan sebaliknya,” kata Lena kepada Indonesiainside.id, Sabtu (23/2).
Sementara, Juru Bicara BPN Andre Rosiade menegaskan puisi yang dibacakan oleh Neno Warisman adalah penggalan doa Nabi Muhammad SAW dalam Perang Badar. Dia meminta publik tidak menghubungkannya dengan kontestasi politik.
“Yang saya tangkap sekarang ada upaya sedemikian rupa dari pihak TKN untuk menggoreng opini, seakan-akan doa mbak Neno ini bagian dari kontestasi Pilpres 2019,” kata Andre.
Hingga berita diturunkan, belum ada klarifikasi dari Neno sendiri. Menurut Gurubesar ilmu politik Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit, doa Neno tentu bermuatan politik. Meski demikian, ia berhak untuk berdoa. “Tentu Neno berhak mendoakan siapa saja yang dia suka. Cuma saya kira, ya, mungkin orang yang beragama Islam ada yang tersinggung, ” kata Arbi Sabit dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu lalu (23/2)
Sementara, Fahri Hamzah berpandangan agar puisi Neno tak diinterpretasikan sebagai sesuatu yang menakutkan. Menurutnya doa Neno bisa juga dianggap sebagai “jawaban” atas pernyataan pejabat yang menyebut perang total.
“Akhirnya didoain oleh Mbak Neno, ayo perang kan kira-kira gitu. Ya udah salah sendirilah,” kata Fahri. Pejabat dimaksudnya adalah Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maruf, Moeldoko. Istilah perang total disampaikan Moeldoko sebagai strategi untuk memenangkan paslon 01.
Kepantasan puisi doa Neno itu tergantung siapa yang menilai, dan dari kubu politik mana. Neno, yang pernah menjadi korban persekusi saat akan menggelar deklarasi 2019 Ganti Presiden, tentu punya cara lain untuk mengekspresikan aspirasinya dalam puisi dan doa.
Di tahun politik ini, doa pun menjadi politis, apalagi puisi. Untuk mencari dukungan dan simpati rakyat, misalnya doa dari para kyai pun dijadikan alat untuk kampanye. Toh, Alloh yang Maha Berkehendak, doa mana yang dikabulkan-Nya. (Kbb)